Oleh: Hikmahanto Juwana
Indonesia sejak 1990 selalu memosisikan sebagai negara bukan pengklaim (non-claimant state) dalam konflik Laut Tiongkok Selatan.
Namun, dalam kurun semester I-2016 terjadi tiga insiden kapal-kapal penangkap ikan tanpa izin asal Tiongkok di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Insiden terbaru terjadi pada Jumat (17/6), di mana 12 kapal nelayan berbendera Tiongkok dikejar KRI Imam Bonjol.
Pemerintah Tiongkok telah melancarkan protes. Bahkan, menurut versi Pemerintah Tiongkok, yang dibantah oleh juru bicara TNI AL, dalam insiden tersebut seorang nelayan mengalami luka-luka dan telah mendapatkan perawatan di rumah sakit di Tiongkok.
Tumpang tindih
Dari tiga insiden yang terjadi jelas para nelayan asal Tiongkok memasuki wilayah ZEEI bukan secara tidak sengaja. Bagi para nelayan tersebut, sebagian ZEEI dianggap wilayah tradisional mereka untuk menangkap ikan.
Indikasi ini terlihat dalam insiden kedua, di mana kapal nelayan Tiongkok berhasil dibawa ke wilayah Indonesia. Pada kamar nakhoda kapal terdapat peta yang menunjukkan sebagian ZEEI sebagai wilayah penangkapan ikan.
Pemerintah Tiongkok pun mendukung peta para nelayannya dengan mengistilahkannya sebagai traditional fishing ground.
Dalam setiap protes atas tiga insiden selalu disampaikan: para nelayan asal Tiongkok mempunyai hak melakukan penangkapan ikan atas dasar konsep traditional fishing ground.
Traditional fishing ground inilah yang menjadi dasar Tiongkok mengklaim atas sembilan garis putus (nine dash line). Protes diplomatik selalu dilayangkan Pemerintah Tiongkok saat para nelayan mereka ditangkap.
Bahkan, para nelayan ini mendapat "perlindungan keamanan" atas aksinya oleh penjaga pantai Tiongkok.
Kapal penjaga pantai Tiongkok selalu hadir dalam tiga insiden itu meski tidak secara frontal berhadapan dengan kapal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan TNI AL.
Sembilan garis putus merupakan salah satu pemicu konflik di Laut Tiongkok Selatan (LTS). Sebenarnya ada dua pemicu lain yang lebih penting.
Pertama, klaim Tiongkok atas pulau- pulau Paracel dan Spratly beserta karang dan bebatuan. Bahkan, belakangan, salah satu karang diubah menjadi pulau yang dapat didarati oleh pesawat tempur.
Kedua, isu keamanan bagi kebebasan pelayaran di jalur internasional. Dominasi Tiongkok di LTS memunculkan kekhawatiran banyak negara yang tidak berada di kawasan, seperti Amerika Serikat, Australia, dan Jepang, akan jaminan kebebasan pelayaran.
Sementara posisi Indonesia sebagai negara bukan pengklaim di LTS didasarkan pada dua alasan.