JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Diah Pitaloka menilai, kewajiban anggota DPR, DPD dan DPRD untuk mundur apabila menjadi calon kepala daerah tidak bisa disamakan dengan PNS, TNI, Polri.
Alasannya, setiap lembaga memiliki aturannya masing-masing.
"UU MD3 tidak mengatur pengunduran diri bagi anggota DPR/DPD/DPRD yang akan mengikuti Pilkada," kata Diah saat dihubungi, Jumat (22/4/2016).
Sementara, UU TNI dan Polri justru menyebutkan pasal yang melarang anggotanya untuk terlibat aktif dalam politik, termasuk pemilu. (baca: Mendagri Minta Kepala Daerah Petahana Juga Harus Berhenti)
Apabila anggota TNI dan Polri hendak terlibat dalam politik praktis, maka harus mengundurkan diri.
"Ini jadi perdebatan, karena setiap institusi punya aturan hukum masing-masing. Dan tidak bisa begitu saja disamakan," kata Diah.
(Baca: Pencalonan Anggota Aktif TNI/Polri dalam Pilkada Akan Ganggu Kestabilan Politik)
Diah menilai, seharusnya aturan dalam UU tiap lembaga ini turut dipertimbangkan dalam revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang tengah bergulir.
"Revisi UU pilkada ini harus mempertimbangkan kembali norma hukum yang melingkupi atau mengatur jabatan-jabatan tersebut. Harus sinkron, jangan tumpang tindih," ucap dia.
Di internal DPR ada keinginan agar anggota Dewan yang ingin maju sebagai calon kepala daerah tidak perlu mundur dari jabatannya. (Baca: Tiga Hal yang Jadi Sorotan dalam Revisi UU Pilkada)
Aturan yang berlaku saat ini, anggota Dewan mesti mundur sebagai wakil rakyat ketika menjadi calon kepala daerah. Dampaknya, mereka khawatir kalah suara nantinya.
Namun, jika hanya diwajibkan cuti, maka anggota Dewan yang kalah dalam Pilkada bisa kembali menjadi wakil rakyat.