JAKARTA, KOMPAS.com - Sembilan ibu-ibu berjejer duduk mengahadap sebuah kotak kayu di depan Istana Negara. Matahari tepat berada di atas kepala mereka. Satu diantaranya menangis tersedu. Kakinya membesar dibalut gips putih.
Para ibu ini bukanlah korban tabrak lari. Mereka adalah petani yang hidup di sekitar Gunung Kendeng, Jawa Tengah. Sembilan petani itu menamakan diri "Kartini Pegunungan Kendeng".
Sembilan Kartini tersebut melakukan aksi mengecor kaki sebagai bentuk protes terhadap pendirian pabrik semen, Selasa (12/4/2016) siang. Mereka ingin berdialog bersama Presiden Joko Widodo.
Di tengah mereka, Deni Yulianti (28) terlihat terisak. Dia berusaha kuat menahan tangisnya yang terus keluar.
Siang itu, dia duduk menanti menghadap sebuah kotak kayu sambil membenamkan kaki ke dalamnya. Ia masih menunggu bahan baku semen untuk menanam kaki yang datang terlambat.
Deni berasal dari Grobogan. Lima orang petani lainnya yang datang bersama Deni berasal dari Rembang. Sisanya, tiga orang berasal dari Pati, Jawa Tengah.
Aksi Kartini Pegunungan Kendeng tergolong berbaya.
Deni menyadari bahaya aksinya bersama petani lainnya. Namun, ia sudah membulatkan tekad tetap ingin melanjutkan.
"Jika pabrik semen terus berdiri justru lebih berbahaya buat saya dan generasi mendatang," ujar Deni.
Melalui aksi ini, Deni berharap tidak adanya pabrik semen yang berdiri di Jawa Tengah.
Di Rembang, PT. Semen Indonesia sudah mendirikan pabriknya sejak 16 Juni 2014. Masyarakat mendirikan tenda di depan pintu masuk-keluar berat sebagai bentuk protes.
Murtini (36), salah satunya. Ia berangkat ke tenda malam hari, lalu seharian di tenda, dan pulang malam berikutnya berganti dengan petani lain.
Menurut Murtini, jika musim panen, ada sekitar 30 orang berjaga di tenda. Jika tidak musim panen, ada 8-12 orang, sisanya melanjutkan hidup mengolah sawah.
"Kadang orang pabrik bilang, jangan disini bu, disini panas. Pulang saja," tutur ibu satu anak ini.