JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina mengungkapkan pemerintah perlu menerbitkan dua regulasi agar para pejabat negara tertib membuat Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Dua regulasi yang dibutuhkan yakni peraturan pemerintah dan RUU Perampasan Aset.
Di dalam PP tersebut, kata Almas, perlu diatur sanksi bagi penyelenggara negara yang terlambat melaporkan atau melengkapi LHKPN, tidak melaporkan LHKPN, atau melaporkan LHKPN tapi tidak secara benar dan jujur.
Selain itu, perlu diatur pula secara rinci mengenai mengenai batas waktu melaporkan dan melengkapi LHKPN. Misalnya, dalam jangka waktu dua tahun atau saat seseorang berpindah jabatan.
(Baca: Gerindra, Nasdem, dan Hanura Jadi Fraksi yang Anggotanya Paling Sedikit Lapor LHKPN)
"Misalnya kalau di DPR, dari Anggota jadi pimpinan seperti Ade Komarudin. Saat pindah harus memperbarui LHKPN nya," kata Almas di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (23/3/2016).
Dengan diberlakukannya batas waktu tersebut, pemberian sanksi dianggap akan lebih ekektif.
Sanksi yang diberikan bisa berupa denda, pencopotan jabatan, penundaan kenaikan jabatan, dan lain sebagainya apabila tidak melaporkan LHKPN dalam batas waktu yang ditentukan padahal telah diberi peringatan sebelumnya.
(Baca: ICW Minta KPK Segera Umumkan Anggota DPR yang Belum Laporkan LHKPN)
Sedangkan rekomendasi lainnya adalah agar pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat segera membahas RUU Perampasan Aset.
"Karena kami percaya LHKPN bisa jadi salah satu instrumen untuk kemudian menjadi pintu masuk merampas aset-aset penyelenggara negara yang tidak dilaporkan di LHKPN dan diduga bersinggungan dengan tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan lain sebagainya," kata Almas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.