Sebelumnya, anggota Fraksi PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno mengatakan, ada tiga prinsip yang harus dimiliki oleh UU KPK.
Tiga prinsip itu bisa diwujudkan melalui revisi UU yakni check and balance melalui mekanisme pengawasan, penghargaan terhadap hak asasi manusia (HAM), dan harus menjunjung supremasi hukum.
"Pernyataan PDI-P melalui Hendrawan, adalah pernyataan yang seolah-olah logis dan seolah-olah UU KPK saat ini belum memilikinya. Padahal, tiga prinsip itu sudah dimiliki UU KPK saat ini," ujar Fickar, di Jakarta, Kamis (18/2/2016).
(Baca: Politisi PDI-P Nilai Ada Tiga Prinsip yang Tak Ada dalam UU KPK Saat Ini))
Check and balances
Sebagai lembaga negara yang independen, KPK harus bebas dari intervensi kekuasaan dalam melaksanakan kewenangannya, baik dari eksekutif, legislatis atau kekuasaan uang.
Namun, keberadaan KPK tetap diawasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) secara manajerial keuangan.
Secara politik hukum, diawasi DPR dan Presiden serta oleh praperadilan dan judicial review dan mekanisme gugatan lainnya dalam hal mekanisme hukum.
Bahkan, jika pribadi komisioner atau penyidik dan penyelidik terbukti menyalahgunakan wewenangnya alias menyimpang, mereka tetap dapat dipidana.
"Jadi UU KPK telah mengandung sekaligus telah melaksanakan prinsip check and balances. Sesat pikir jika KPK diletakkan seperti lembaga negara yang dikontrol DPR karena KPK lembaga penegakan hukum, bukan lembaga politik," ujar Fickar.
"Jika PDI-P tetap memaksakan kehendaknya, itu sama saja dengan mempolitisir KPK melalui lembaga dewan pengawas," lanjut dia.
HAM
UU KPK sebagai bagian dari sistem hukum pidana keseluruhan tunduk kepada prinsip HAM.
Buktinya, UU KPK tetap mengakomodir KUHP tentang status hukum tersangka atau terdakwa yang sudah meninggal, perkara yang sudah daluwarsa, amnesti dan abolisi sebagaimana diatur dalam KUHP dan UUD 1945.