"Toh presiden juga dipilih publik. Dia juga menunjuk pansel yang asumsinya bekerja di bawah sebuah mekanisme dan pengawasan publik," kata Bivitri di Jakarta, Sabtu (12/12/2015).
Menurut dia, pemilihan komisioner KPK melalui DPR berpotensi melemahkan lembaga antirasuah tersebut, apalagi jika menyebabkan KPK terbelenggu kepentingan politik dan menyebabkan lolosnya elite-elite politik dari jerat hukum karena adanya bargain politik.
"Saya kira, salah satu sebabnya (ada elite politik yang lolos) adalah karena mereka juga dipilih DPR. Mereka ada bargain. Nanti kalau diloloskan, mereka (elite politik) mengingatkan, 'jangan lupa, dulu saya yang pilih lho' ," ujarnya.
"Secara umum, KPK berat secara politik, saya kira tidak bisa dihindari dengan sistem pemilihan yang sekarang, di mana dia dipilih oleh partai-partai politik," kata dia.
Senada dengan Bivitri, praktisi hukum, Maqdir Ismail, menyatakan setuju jika komisioner KPK dipilih oleh presiden. Menurut dia, DPR saat ini dikuasai oleh partai-partai politik tertentu sehingga komisioner terpilih dikhawatirkan juga dimasuki kepentingan partai.
Namun, ia menganggap supervisi yang dilakukan KPK belum berjalan secara sinergis dengan penegak hukum lain. Karena itu, menurut dia, presiden idealnya mengambil alih semua urusan pemberantasan korupsi, termasuk untuk menunjuk komisioner KPK.
"Di KPK itu hampir tidak pernah ada sinergi supervisi yang mereka lakukan dengan penegak hukum lain. Pilihan kita, sekarang ini presiden harusnya mengambil alih semua, termasuk menunjuk komisioner KPK," kata Maqdis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.