Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hukuman Kebiri Dikhawatirkan Salah Sasaran dan Jadi Bumerang

Kompas.com - 12/11/2015, 23:04 WIB
Nabilla Tashandra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual pada anak terus menuai pro dan kontra.

Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo mengatakan, hukuman tersebut bisa jadi salah sasaran dan dikhawatirkan menjadi bumerang.

"Misalnya, kalau orang enggak sakit kanker dikasih obat kanker. Kan akibatnya bisa menjadi bumerang," ujar Harkristuti di Gedung FHUI, Depok, Kamis (12/11/2015).

Ia memaparkan, seringkali pelaku kekerasan seksual dianggap memiliki abnormal sex drive atau libido seks yang tinggi dan dengan dorongan tidak normal.

Padahal, belum tentu semua kasus kekerasan seksual dilakukan oleh pelaku yang memiliki abnormal sex drive.

Ia menuturkan, variabel yang harus diatur jika hukuman kebiri dijadikan peraturan akan sangat kompleks.

"Pertanyaannya, untuk kekerasan seks yang mana? Lalu untuk pelaku yang mana? First offender? Penanggung jawab programnya nanti siapa? Pemantaunya siapa?" kata Harkristuti.

Ia menambahkan, secara umum, penanganan kekerasan seksual mengutamakan bagaimana mencegah pengulangan kejadian yang sama di masa depan.

Jika mengacu pada beberapa negara lain, menurut dia, tidak hanya hukuman kebiri dan pidana penjara, tapi metode-metode terapi serta edukasi ke masyarakat juga dilakukan.

Harkristuti memaparkan, saat ini di Eropa pemberlakuan kebiri hanya dilaksanakan di Jerman dan Republik Ceko. 

Namun, hukuman itu tidak dalam konteks penghukuman, melainkan pengurangan abnormal sex drive.

"Dia bisa disembuhkan atau at least dikurangi. Asumsinya selalu abnormal sex drive," tutur dia.

Harkristuti menambahkan, mengutip pernyataan dari beberapa filsuf, hukuman pidana seringkali tidak membuat seseorang lebih baik. Namun, hukuman justru membuat orang lebih licik dan lebih pandai dalam melakukan kejahatan.

Meski begitu, jika hukuman tersebut dapat dibuktikan bisa menghasilkan sesuatu hal yang lebih baik daripada hukuman tidak dilakukan, maka hukuman tersebut boleh saja dilakukan.

"Apa sih common benefit-nya, itu harus dibuktikan," ujar dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sidang Praperadilan Tersangka TPPU Panji Gumilang Berlanjut Pekan Depan, Vonis Dibacakan 14 Mei

Sidang Praperadilan Tersangka TPPU Panji Gumilang Berlanjut Pekan Depan, Vonis Dibacakan 14 Mei

Nasional
Hukuman Yusrizki Muliawan di Kasus Korupsi BTS 4G Diperberat Jadi 4 Tahun Penjara

Hukuman Yusrizki Muliawan di Kasus Korupsi BTS 4G Diperberat Jadi 4 Tahun Penjara

Nasional
Airin dan Ahmed Zaki Dekati PKB untuk Pilkada 2024

Airin dan Ahmed Zaki Dekati PKB untuk Pilkada 2024

Nasional
Anggota DPR Diduga Terima THR dari Kementan, KPK: Bisa Suap, Bisa Gratifikasi

Anggota DPR Diduga Terima THR dari Kementan, KPK: Bisa Suap, Bisa Gratifikasi

Nasional
Mendagri Serahkan Data Pemilih Potensial Pilkada 2024, Jumlahnya 207,1 Juta

Mendagri Serahkan Data Pemilih Potensial Pilkada 2024, Jumlahnya 207,1 Juta

Nasional
Hardiknas 2024, Fahira Idris: Perlu Lompatan Peningkatan Kualitas Pengajaran hingga Pemerataan Akses Pendidikan

Hardiknas 2024, Fahira Idris: Perlu Lompatan Peningkatan Kualitas Pengajaran hingga Pemerataan Akses Pendidikan

Nasional
Sadar PTUN Tak Bisa Batalkan Putusan MK, PDI-P: Tapi MPR Punya Sikap untuk Tidak Melantik Prabowo

Sadar PTUN Tak Bisa Batalkan Putusan MK, PDI-P: Tapi MPR Punya Sikap untuk Tidak Melantik Prabowo

Nasional
Surya Paloh Sungkan Minta Jatah Menteri meski Bersahabat dengan Prabowo

Surya Paloh Sungkan Minta Jatah Menteri meski Bersahabat dengan Prabowo

Nasional
Anies Respons Soal Ditawari Jadi Menteri di Kabinet Prabowo atau Tidak

Anies Respons Soal Ditawari Jadi Menteri di Kabinet Prabowo atau Tidak

Nasional
Ajukan Praperadilan Kasus TPPU, Panji Gumilang Minta Rekening dan Asetnya Dikembalikan

Ajukan Praperadilan Kasus TPPU, Panji Gumilang Minta Rekening dan Asetnya Dikembalikan

Nasional
KPU Bantah Tak Serius Ikuti Sidang Sengketa Pileg Usai Disentil Hakim MK: Agenda Kami Padat...

KPU Bantah Tak Serius Ikuti Sidang Sengketa Pileg Usai Disentil Hakim MK: Agenda Kami Padat...

Nasional
Sedih karena SYL Pakai Duit Kementan untuk Keperluan Keluarga, Surya Paloh: Saya Mampu Bayarin kalau Diminta

Sedih karena SYL Pakai Duit Kementan untuk Keperluan Keluarga, Surya Paloh: Saya Mampu Bayarin kalau Diminta

Nasional
Hari Tuna Sedunia, Kementerian KP Siap Dorong Kualitas, Jangkauan, dan Keberlanjutan Komoditas Tuna Indonesia

Hari Tuna Sedunia, Kementerian KP Siap Dorong Kualitas, Jangkauan, dan Keberlanjutan Komoditas Tuna Indonesia

Nasional
Sebut Suaranya Pindah ke PDI-P, PAN Minta Penghitungan Suara Ulang di Dapil Ogan Komering Ilir 6

Sebut Suaranya Pindah ke PDI-P, PAN Minta Penghitungan Suara Ulang di Dapil Ogan Komering Ilir 6

Nasional
Jokowi Teken UU Desa Terbaru, Kades Bisa Menjabat hingga 16 Tahun

Jokowi Teken UU Desa Terbaru, Kades Bisa Menjabat hingga 16 Tahun

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com