Pembusukan demokrasi
Jika diperhatikan, perilaku politisi di daerah memang belum berubah dalam pelaksanaan pilkada. Berbagai cara mereka lakukan untuk mendapatkan keuntungan dari pilkada tersebut. Perilaku seperti ini tentu bertentangan dengan semangat masyarakat yang menginginkan pilkada dapat menghasilkan kepala daerah yang berkualitas dan berintegritas.
Sebenarnya, tanpa melaksanakan survei elektabilitas terhadap calon pun, partai politik sudah bisa menilai kelayakan calon yang mendaftar untuk diusulkan menjadi kepala daerah. Mengapa demikian?
Setiap partai politik memiliki pengurus dan anggota hingga ke tingkat RT dan RW yang dapat dijadikan referensi untuk memberikan penilaian terhadap calon yang mendaftar kepadanya. Seandainya partai politik telah melaksanakan fungsinya dengan baik, tentu pemetaan terhadap calon kepala daerah yang akan diusulkan menjadi gubernur, bupati, atau wali kota menjadi tanggung jawabnya.
Modus setoran dari calon untuk melaksanakan survei ini menimbulkan pertanyaan banyak pihak mengapa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota tersebut tidak mengantisipasi hal ini. Sebab, dari apa yang terlihat, motivasi mereka tidak lain adalah untuk mengambil keuntungan dari proses pendaftaran para bakal calon kepala daerah.
Mereka mencari celah dari aturan yang melarang pungutan dengan selubung kegiatan yang dianggap legal. Jika dari awal calon kepala daerah ini sudah dibebani dengan pungutan terselubung dari partai politik, tentunya hal ini akan berdampak pada motivasinya dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Pada akhirnya, pilkada yang diharapkan dapat menghasilkan kepala daerah berkualitas dan berintegritas sulit diwujudkan.
Tanpa mereka sadari, modus seperti ini jelas berdampak kepada pembusukan terhadap institusi demokrasi yang sedang dibangun. Bagaimana tidak, pilkada berkorelasi langsung dengan pembentukan kelembagaan demokrasi, dalam hal ini pemerintah daerah.
Melalui pilkada diharapkan muncul kepala daerah yang memiliki kompetensi dan berintegritas dalam membangun tata kelola pemerintahan yang baik. Keinginan yang tersirat dalam UU pilkada sebenarnya sejalan dengan apa yang dikemukakan Fukuyama dalam Political Order and Political Decay (2014), bahwa tata kelola pemerintahan yang baik menjadi salah satu pilar dalam membangun tertib politik sekaligus memperkuat eksistensi negara. Namun, sangat disayangkan, aturan hukum yang mengatur tentang pilkada masih dinodai praktik pungutan dengan modus baru yang bertentangan dengan nilai demokrasi yang ingin dikembangkan.