Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 06/04/2015, 17:21 WIB

Oleh: Achmad Fauzi

JAKARTA, KOMPAS - Negeri ini tidak mengenal musim gugur. Namun, itikad Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly untuk merevisi aturan tentang pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi telah merontokkan semangat pemberantasan korupsi.

Obral remisi koruptor tersebut memanen hujatan karena kering dari rasa keadilan dan kontraproduktif dengan konsep Nawacita yang dipekikkan Presiden Joko Widodo.

Dalam spirit Nawacita terkandung kehendak bersama untuk menolak negara lemah dengan mereformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya. Gagasan agung itu semestinya diterjemahkan dalam kebijakan konkret oleh pembantu presiden dengan tak memberikan kelonggaran remisi kepada koruptor. Obral remisi ialah bentuk nyata pelemahan daulat hukum, merusak ritme pemberantasan korupsi, dan berarti pula mengkhianati presiden dan rakyat.

Ke depan, lembaga negara yang terkait dalam sistem peradilan tindak pidana korupsi harus memiliki persepsi yang sama dalam mendefinisikan efek jera. Dengan begitu, karsa pemberantasan korupsi tidak bertepuk sebelah tangan: di satu sisi garang menjerat, tetapi di sisi lain ada tukang memberikan maaf. Karena itu, jika Menkumham tetap pada pendiriannya melonggarkan syarat remisi koruptor, maka akan menimbulkan beragam persoalan, seperti menurunnya kualitas efek jera dan kinerja pemberantasan korupsi akan sia-sia.

Acuan remisi

Selama ini pedoman pemberian remisi narapidana kasus kejahatan luar biasa, khususnya korupsi, mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. Ketentuan dalam PP ini memberikan syarat-syarat yang ketat kepada koruptor dalam pemberian remisi.

Pertama, sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Ayat (2) dan (3) PP No 99/2012, remisi hanya dapat diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah memenuhi syarat berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan. Persyaratan berkelakuan baik dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun enam bulan terakhir terhitung sebelum tanggal pemberian remisi dan telah mengikuti program pembinaan oleh lembaga pemasyarakatan dengan predikat baik.

Kedua, harus memenuhi persyaratan lain yang terdapat pada Pasal 34A Ayat (1) PP No 99/2012, yakni bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya serta telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.

Adanya instrumen pengetatan remisi tersebut tidak serta-merta dapat diterapkan hanya menggunakan perspektif kacamata kuda. Sebab, ketentuan normatif bukan terdiri atas kumpulan pasal-pasal mati yang dapat diterapkan begitu saja tanpa melihat konteks sosial politik yang terjadi.

Saat ini korupsi masih jadi gejala masif dan tidak menunjukkan tanda akan berakhir. Keganasan gelombang korupsi terus memecah tanggul pemerintahan dari pusat hingga daerah. Menurut pantauan Indonesia Corruption Watch, sepanjang 2014, pelaku korupsi terbanyak ialah pejabat atau pegawai pemerintah daerah ataupun kementerian.

Kementerian Dalam Negeri mencatat, dari 60 persen kepala daerah yang terlibat kasus hukum, 80 persen di antaranya karena praktik korupsi. Sektor yang banyak menyeret kepala daerah ialah soal kongkalikong perizinan investasi yang melibatkan pengusaha hitam. Fakta menguatnya budaya korupsi di lingkup pemerintahan itu semestinya jadi data primer dalam mengkaji penting atau tidaknya merevisi aturan pemberian remisi koruptor.

Upaya merevisi PP No 99/2012 atas dalih adanya unsur diskriminasi bagi terpidana korupsi juga susah diterima akal sehat. Koruptor adalah pelaku kejahatan luar biasa yang tidak bisa disamakan perlakuannya dengan narapidana biasa. Justru Menkumham seharusnya jeli dan peka melihat kondisi negara yang sedang kelimpungan akibat korupsi. Pada 2014 saja ICW mencatat kerugian yang diderita negara akibat korupsi mencapai Rp 5,29 triliun. Angka ini seharusnya bisa digunakan untuk memperbaiki gedung sekolah yang reyot dan membangun jembatan agar anak-anak di pelosok punya akses mudah ke sekolah.

Kita bisa bayangkan-katakanlah-koruptor dihukum 13 tahun penjara. Namun, karena memperoleh kelonggaran remisi setiap tahunnya, akhirnya hanya menjalani hukuman badan separuh dari jumlah vonis yang dijatuhkan. Keluar dari penjara ia masih bisa hidup makmur. Sementara negara belum pulih dari kerugian yang diderita karena uang pengganti yang dibebankan kepada koruptor dikorupsi kembali dan ada pula yang belum dieksekusi.

Perspektif korban

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Menag Sebut Jemaah RI Akan Dapat 'Smart Card' Haji dari Pemerintah Saudi

Menag Sebut Jemaah RI Akan Dapat "Smart Card" Haji dari Pemerintah Saudi

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Ribuan Suara Pindah ke Partai Garuda di Dapil Sumut I-III

Sengketa Pileg, PPP Klaim Ribuan Suara Pindah ke Partai Garuda di Dapil Sumut I-III

Nasional
Temui KSAD, Ketua MPR Dorong Kebutuhan Alutsista TNI AD Terpenuhi Tahun Ini

Temui KSAD, Ketua MPR Dorong Kebutuhan Alutsista TNI AD Terpenuhi Tahun Ini

Nasional
Jokowi Resmikan Bendungan Tiu Suntuk di Sumbawa Barat, Total Anggaran Rp 1,4 Triliun

Jokowi Resmikan Bendungan Tiu Suntuk di Sumbawa Barat, Total Anggaran Rp 1,4 Triliun

Nasional
Meneropong Kabinet Prabowo-Gibran, Menteri 'Triumvirat' dan Keuangan Diprediksi Tak Diisi Politisi

Meneropong Kabinet Prabowo-Gibran, Menteri "Triumvirat" dan Keuangan Diprediksi Tak Diisi Politisi

Nasional
Dewas KPK Gelar Sidang Perdana Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Dewas KPK Gelar Sidang Perdana Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Nasional
Jokowi Resmikan 40 Kilometer Jalan Inpres Senilai Rp 211 Miliar di NTB

Jokowi Resmikan 40 Kilometer Jalan Inpres Senilai Rp 211 Miliar di NTB

Nasional
Jokowi Akan Resmikan Bendungan dan Panen Jagung di NTB Hari ini

Jokowi Akan Resmikan Bendungan dan Panen Jagung di NTB Hari ini

Nasional
Meski Isyaratkan Merapat ke KIM, Cak Imin Tetap Ingin Mendebat Prabowo soal 'Food Estate'

Meski Isyaratkan Merapat ke KIM, Cak Imin Tetap Ingin Mendebat Prabowo soal "Food Estate"

Nasional
Setelah Jokowi Tak Lagi Dianggap sebagai Kader PDI-P...

Setelah Jokowi Tak Lagi Dianggap sebagai Kader PDI-P...

Nasional
Pengertian Lembaga Sosial Desa dan Jenisnya

Pengertian Lembaga Sosial Desa dan Jenisnya

Nasional
Prediksi soal Kabinet Prabowo-Gibran: Menteri Triumvirat Tak Diberi ke Parpol

Prediksi soal Kabinet Prabowo-Gibran: Menteri Triumvirat Tak Diberi ke Parpol

Nasional
Jokowi Dianggap Jadi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P ke Prabowo, Gerindra Bantah

Jokowi Dianggap Jadi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P ke Prabowo, Gerindra Bantah

Nasional
Soal Kemungkinan Ajak Megawati Susun Kabinet, TKN: Pak Prabowo dan Mas Gibran Tahu yang Terbaik

Soal Kemungkinan Ajak Megawati Susun Kabinet, TKN: Pak Prabowo dan Mas Gibran Tahu yang Terbaik

Nasional
PKS Siap Gabung, Gerindra Tegaskan Prabowo Selalu Buka Pintu

PKS Siap Gabung, Gerindra Tegaskan Prabowo Selalu Buka Pintu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com