Muradi menyebutkan, ada empat poin yang membuat soliditas internal polri terganggu dengan langkah KPK tersebut. Salah satunya, KPK dianggap mengusik proses pencalonan Budi Gunawan sebagai pucuk pimpinan di institusi Bhayangkara.
"Pengajuan Budi Gunawan sebagai Kapolri adalah bagian dari kebanggaan internal Polri. Ketika kemudian diusik dengan menjadikan dia sebagai tersangka oleh KPK, membuat kebanggaan atas perwira terbaik pilihan Presiden terganggu," ujar Muradi melalui keterangan pers, Kamis (14/1/2015).
Kedua, langkah KPK juga menguak kembali luka lama perseteruan antara Polri dengan KPK melalui kasus 'Cicak versus Buaya', beberapa tahun yang lalu. Menurut Muradi, sentimen negatif kedua institusi itu menguat pascapenetapan Budi Gunawan sebagai tersangka.
Ketiga, lanjut dia, langkah KPK dipandang sebagai salah satu bentuk politisasi terhadap Polri di tengah optimisme publik membangun organisasi yang mandiri dan profesional.
Yang keempat, dia menilai, langkah KPK itu mengoreksi semangat jiwa korsa di institusi Polri yang kuat dan solid. Muradi mengatakan, ada pihak internal Polri yang terganggu atas manuver KPK di tengah proses regenerasi pimpinan Polri.
"Langkah KPK telah mengancam soliditas serta kekompakan internal Polri. Selama ini, Polri relatif solid dalam menjaga irama organisasi dan proses regenerasi kepemimpinan berjalan baik," ujar dia.
Atas empat poin tersebut, Muradi menilai bahwa proses uji kelaikan atas Budi Gunawan harus tetap dilaksanakan mengacu pada proses yang berlaku.
Sebelumnya diberitakan, KPK menetapkan Gunawan sebagai tersangka dengan dugaan terlibat transaksi mencurigakan atau tidak wajar. Ketua KPK Abraham Samad mengatakan, penyelidikan mengenai kasus yang menjerat Budi telah dilakukan sejak Juli 2014.
"Berdasarkan penyelidikan yang cukup lama, KPK akhirnya menemukan (tindak) pidana dan menemukan lebih dari dua alat bukti untuk meningkatkan penyelidikan menjadi penyidikan," kata Abraham.
Pria angkatan Polri tahun 1983 yang saat ini menjabat sebagai Kepala Lembaga Pendidikan Polri (Kalemdikpol) tersebut melanggar Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat 2, Pasal 11 atau 12 B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.