Rombongan tersebut merupakan gabungan dari mahasiswa Indonesia yang tengah menjalani studi di berbagai universitas di Perth, serta masyarakat diaspora Indonesia.
“Dengan diubahnya mekanisme pemilihan menjadi via DPRD, akuntabilitas demokrasi menjadi lemah, serta fungsi kontrol eksekutif hanya berada di tangan politisi DPRD, bukan pada rakyat. Dampaknya para kepala daerah hanya akan melayani kehendak elit-elit partai politik, bukan melayani rakyat,” demikian disampaikan Tio Novita Efriani, koordinator aksi dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (2/10/2014).
Mahasiswa Murdoch University ini melanjutkan, persoalan mendasar yang dihadapi oleh demokrasi Indonesia adalah rendahnya tingkat kepercayaan rakyat kepada elit-elit partai politik dan politisi di Parlemen. Maka di titik inilah pemilihan langsung menjadi penting. Ia jadi tumpuan rakyat untuk menjaga agar kepercayaan publik tetap hadir.
Irwansyah Jemi, salah satu peserta aksi, menambahkan bahwa hubungan antara skala korupsi dengan pemilihan langsung tidak berdasar. Sebab, porsi korupsi terbesar ada di level elit politik, bukan di akar rumput. Dengan pemilihan langsung, perilaku elit dapat lebih dikontrol, dan rakyat pun dapat secara langsung menagih janji kepada pemimpin.
“Biaya pemilihan langsung yang dianggap terlalu besar juga tidak relevan dijadikan alasan menghapus hak rakyat dalam memilih langsung pemimpinnya di daerah,” imbuh Jemi.
Acara tersebut berlangsung singkat saja, sekitar 10 menit. Dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, lalu mengheningkan cipta diiringi lagu Gugur Bunga. Aksi ditutup dengan meletakkan karangan bunga di halaman dalam KJRI, sebagai simbol matinya demokrasi langsung di daerah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.