JAKARTA, KOMPAS.com - Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Pemilu Presiden 2014 dilakukan satu putaran diwarnai perbedaan pendapat (dissenting opinion) di antara para hakim. Dua hakim konstitusi, yakni Wahiduddin Adams dan Patrialis Akbar, tak sepakat pilpres dilakukan dalam satu putaran seperti yang diputuskan MK.
Keduanya bersepakat bahwa konteks masyarakat Indonesia yang majemuk tidak dapat dipisahkan dari pilpres.
Wahiduddin mengatakan, gagasan dan cita-cita utama para penyusun amandemen UUD adalah proporsionalitas jumlah pemilih dan persebarannya dengan wilayah Indonesia.
"Diharapkan agar presiden dan wakil presiden terpilih mendapat kepercayaan dan dukungan yang tidak hanya dalam jumlah besar, namun juga meluas dari rakyat," kata Wahiduddin di Gedung MK, Jakarta, Kamis (3/7/2014).
Dia menilai, penghematan anggaran dan perlunya upaya mencegah potensi terjadinya kekacauan politik yang didalilkan para pemohon merupakan penalaran hukum yang sempit. Prinsip dalam pemilu, kata dia, adalah langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, bukan prinsip sederhana, cepat, dan murah atau biaya ringan.
"Tolak ukur murah atau biaya ringan pun pada akhirnya bersifat relatif," kata dia.
Sementara itu, Patrialis berpendapat, pasal 159 ayat 1 UU Pilpres berasal dari pasal 6A ayat 3 UUD 1945 sehingga UU Pilpres adalah UU organik sehingga berkesesuaian dengan UUD 1945. Dengan demikian, kata dia, UU itu sudah memenuhi asas kepastian hukum.
"Apabila pemohon memohonkan agar pasal 159 ayat 1 UU 42/2008 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, perlu dipertanyakan UUD 1945 yang mana serta pasal-pasal yang mana yang bertentangan," ucap Patrialis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.