JAKARTA, KOMPAS.com
— Seleksi pejabat publik, khususnya di institusi independen, diharapkan berubah menyusul putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan kewenangan DPR memilih calon hakim agung. Pola perekrutan serupa sebaiknya juga diterapkan di institusi lain, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum, dan Badan Pengawas Pemilu.

”DPR harus dipandang sebagai institusi approval atau yang memberi persetujuan. Ini berlaku bagi pejabat-pejabat publik di ranah lain yang menghendaki independensi, seperti pimpinan KPK, KPU, KY, Bawaslu, Komisi Informasi Pusat, atau Komisi Penyiaran Indonesia,” ujar Direktur Eksekutif Constitutional and Electoral Reform Centre (Correct) Refly Harun, Jumat (10/1).

Hari Kamis, MK membatalkan kewenangan DPR memilih calon hakim agung. DPR hanya berwenang menyetujui atau tidak menyetujui calon yang diusulkan KY. MK pun membatalkan ketentuan yang mewajibkan KY mengirimkan tiga nama untuk satu jabatan hakim agung. KY cukup mengirimkan satu nama untuk satu kursi hakim agung (Kompas, 10/1).

Menurut Refly, ada dua tren yang harus dikembangkan jika ingin menyehatkan lembaga- lembaga independen. Pertama, perekrutan pejabat publik dilakukan oleh tim yang betul-betul independen. Kedua, calon pejabat di lembaga independen, baik di yudikatif maupun state auxiliary agencies, tidak boleh berasal dari partai politik atau minimal tidak bersentuhan dengan parpol dalam waktu lima tahun.

Bersama Koalisi Masyarakat Sipil, Refly mengatakan, pihaknya bakal mengajukan uji materi semua undang-undang yang mengatur seleksi pejabat publik yang masih menyertakan DPR. ”Dasar uji materi adalah putusan MK kemarin karena rohnya sama,” katanya.

Menurut pegiat Koalisi Masyarakat Sipil, Erwin Natosmal Oemar, permohonan uji materi akan didaftarkan ke MK secepatnya. Pihaknya saat ini tengah menyusun berkas permohonan.

DPR lebih profesional

Secara terpisah, Hakim Agung Topane Gayus Lumbuun meminta DPR menggunakan kewenangannya untuk menyetujui atau tidak menyetujui calon hakim agung yang diusulkan KY.

Menurut Gayus, kewenangan DPR bukan dikurangi oleh putusan MK, melainkan justru diperkuat. Sebab, dengan adanya putusan MK, DPR memiliki hak untuk menolak calon yang diajukan oleh KY. ”Kalau dulu, DPR tak bisa menolak calon dari KY. Kalau ditolak, KY-nya marah. Kalau sekarang, boleh menerima atau menolak,” katanya.

Gayus sepakat dengan putusan MK. Putusan MK tersebut telah mengembalikan kedudukan DPR dalam seleksi calon hakim agung sesuai maksud UUD 1945.

Komisioner KY, Taufiqurrohman Syahuri, meminta DPR untuk segera memproses tiga calon hakim agung yang sudah dikirimkan KY pada Desember 2013 dengan mendasarkan pada putusan MK. Sebab, putusan MK berlaku sejak diucapkan atau sejak 9 Januari kemarin.

”Putusan MK membawa akibat hukum DPR wajib memproses tiga calon yang sudah dikirim KY tetapi belum di-fit and proper test dengan mengikuti cara yang diputus MK dengan memberikan persetujuan. Harapan kami mudah-mudahan semua disetujui,” kata Taufiq.

Pada 17 Desember lalu, KY mengajukan tiga calon hakim agung ke DPR, yaitu Suhardjono (hakim Pengadilan Tinggi Makassar), Sunarto (Kepala Badan Pengawasan MA), dan Maria Anna Samiyati (Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Palu). (ANA)