JAKARTA, KOMPAS.com — Dugaan penyimpangan anggaran negara di badan usaha milik negara untuk kepentingan politik tertentu tidak hanya terjadi saat implementasi program. Penyimpangan sudah berpotensi terjadi saat pembahasan dan penentuan anggaran BUMN antara eksekutif dan legislatif, antara lain dengan menggelembungkan anggaran.

”Paling rawan itu saat penentuan anggaran (BUMN) antara eksekutif dan legislatif. Di situ ada potensi (penggelembungan), misalnya kebutuhan riil hanya Rp 3 miliar tetapi dalam penganggarannya bisa membengkak menjadi belasan miliar,” kata Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi dan Informasi Heru Lelono, Senin (18/11).

Jika dalam proses itu ada bancakan anggaran oleh politisi, sebenarnya BUMN hanya dijadikan alat. Untuk mencegah bancakan anggaran ini, publik perlu aktif memastikan bahwa anggaran yang disusun berdasarkan kebutuhan yang sesungguhnya.

”Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di beberapa kesempatan meminta BUMN dikelola dengan benar. Presiden sering bertanya, mengapa ada BUMN yang mengajukan permohonan dana APBN, padahal Presiden merasa pernah menandatangani permohonan serupa dari BUMN yang sama. Presiden minta BUMN itu dievaluasi dan bahkan ditutup atau dimerger saja,” kata Heru.

Terkait upaya melepaskan pengelolaan BUMN dari keuangan negara melalui pengajuan uji materi ke Mahkamah Konstitusi atas UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, menurut Heru, keberadaan BUMN perlu dipilah dahulu. Ada BUMN yang masih bergantung kepada APBN, tetapi ada yang sudah jadi perusahaan terbuka (go public).

Pengelolaan BUMN yang masih bergantung kepada APBN harus di bawah pengawasan negara dan diaudit BPK. Sementara BUMN yang sudah go public seharusnya cukup tunduk pada ketentuan undang-undang perseroan terbatas, di mana pemegang kekuasaan tertinggi ada di rapat umum pemegang saham.

”Pengelolaan BUMN bisa di luar negara asal tidak lagi minta dana dari APBN. Jika misalnya harus menambah modal, dia bisa berutang kepada perbankan,” kata Heru.
Transaksi

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo mengatakan, menjelang Pemilu 2014, BUMN sesungguhnya bisa berupaya tidak menjadi mesin uang bagi partai politik. Caranya, antara lain dengan mewajibkan semua proyek yang ditandatangani kontraktor ataupun pihak ketiga memakai sistem pembayaran nontunai. Kepala daerah juga didorong untuk menggunakan sistem nontunai.

Seusai memberi kuliah umum bertajuk ”Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme secara Sistemik” di Universitas Indonesia, Depok, Hadi mengatakan, ”Korupsi umumnya menggunakan sistem transaksi tunai. BPK sudah menganjurkan Menteri BUMN Dahlan Iskan menggunakan sistem transaksi nontunai untuk semua BUMN.”

Seperti diberitakan, sepanjang 2005-2011, BPK menemukan setidaknya 24 kasus korupsi di BUMN dan berpotensi merugikan keuangan negara sebesar Rp 4,9 triliun dan 305 juta dollar AS. Untuk semester I-2013, dari pemeriksaan dengan tujuan tertentu pada 21 obyek pemeriksaan di lingkungan BUMN, BPK menemukan 510 kasus dengan potensi kerugian negara Rp 2,6 triliun (Kompas, 18/11).

Hadi mengatakan, BPK juga sudah meminta kepada Presiden agar semua penguasa pengelola keuangan negara menanggapi secara tertulis kepada BPK soal laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang telah ditetapkan BPK. Tanggapan tertulis ini harus dilaporkan dalam 60 hari.

Menurut Hadi, penyalahgunaan anggaran antara lain dengan penggelembungan anggaran dan laporan yang tidak sesuai fakta. BPK telah membangun sistem menghimpun data secara online dengan pihak terkait. Misalnya, soal tiket perjalanan dengan pesawat terbang akan dapat diketahui dalam hitungan menit.

Hadi berharap, perhatian tidak semata ke kasus korupsi sebagai akibat, tetapi juga mencari penyebabnya. BPK sudah memiliki pusat data, tetapi masih perlu penyempurnaan sehingga seluruh nontunai dapat diketahui secara transparan. ”Penilaian wajar tanpa pengecualian tidak menjamin bebas KKN,” katanya. (WHY/OSA)