Hal itu mengemuka dalam diskusi publik bertajuk ”Tantangan dan Kualitas Pemilu 2014” yang diselenggarakan Jaringan Aktivis Pro-Demokrasi, di Jakarta, Kamis (31/10). Hadir sebagai narasumber anggota Komisi II DPR Abdul Malik Haramain dan pengamat politik Radhar Panca Dahana.
Malik mengatakan, sejumlah perdebatan masih berlangsung dan cenderung menguat menjelang Pemilu 2014. Perdebatan tersebut, antara lain, menyangkut besaran partisipasi publik, kekisruhan daftar pemilih tetap (DPT), aturan-aturan main dalam proses kampanye, serta pupusnya harapan terhadap Mahkamah Konstitusi sebagai garda penegak hukum, terutama dalam mencari keadilan atas persengketaan Pemilu 2014.
”Apakah pemilu hanya menjadi kegiatan reguler dan menjadi pesta transaksional? Ataukah, sungguh-sungguh menjadi pesta demokrasi yang transparan, jujur, dan adil? Kunci masalahnya adalah ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga-lembaga pemerintah. Situasi ini membuat sikap apatis dan pesimistis,” kata Malik.
Ketidakpercayaan rakyat juga terjadi karena mereka tidak merasakan hasil positif dari penyelenggaraan pemilu. Ada perilaku-perilaku pejabat legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang justru belakangan ini semakin mempertebal ketidakpercayaan rakyat. Di lain sisi, semua pihak didorong untuk membangun kembali kepercayaan rakyat dalam memilih wakil rakyat dan pemimpin masa depan.
Namun, yang menjadi masalah adalah sebagian rakyat sudah telanjur anti terhadap partai politik yang merembet pada sikap antidemokrasi.
Terhadap masalah DPT, misalnya, Malik tidak yakin akan menghasilkan data yang sempurna. Namun, dibandingkan proses pemilu sebelumnya, penentuan DPT saat ini merupakan langkah paling baik yang dilakukan KPU.
Praktis, bukan ideologis
Radhar menuturkan hal senada. Menurut dia, sikap apatis terjadi karena seluruh gagasan demokrasi yang hendak dibangun ternyata dirasakan tidak ada realisasinya. Demokrasi sebagai manifestasi pemilu sudah mengalami kekeliruan pemahaman.
”Yang dilihat rakyat dalam pesta demokrasi sekarang ini adalah sangat praktis. Bukan sekadar gagasan ideologis yang ditawarkan partai politik. Praktis karena sebagian besar rakyat masih melihatnya dengan tolok ukur besaran uang yang diberikan oleh politisi,” kata Radhar.
Saat ini, kata Radhar, rakyat sudah tersandera begitu melihat wakil rakyat dan presiden pilihannya ternyata tidak sesuai harapannya. Atas kekecewaan itu, rakyat tersandera selama lima tahun karena tidak bisa menarik kembali dukungan suaranya.
Untuk mengobati kekecewaannya, rakyat harus menunggu lima tahun untuk mengalihkan dukungan suaranya dalam pemilu selanjutnya. Ironisnya, begitu masa jabatan wakil rakyat akan berakhir, politisi kembali menggunakan uang untuk ”mengobati” kekecewaan rakyat. Rakyat yang lupa akhirnya memilih kembali mereka. (OSA)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.