Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bernuansa Politis, Perppu MK Bisa Disusupi Kepentingan Politik

Kompas.com - 08/10/2013, 12:03 WIB
Sabrina Asril

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com — Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang akan dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam rangka upaya penyelamatan Mahkamah Konstitusi dinilai bernuansa politis. Perppu dinilai bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu menjelang Pemilu 2014.

"Perppu ini memang bernuansa politik, bisa saja kepentingan itu menelusup di sana," ujar Wakil Ketua Majelis Pemusyawaratan Rakyat Hajriyanto Y Thohari di Kompleks Parlemen, Selasa (8/10/2013).

Politisi Partai Golkar ini memaparkan kejanggalan terjadi mengenai alasan Presiden mengeluarkan perppu. Perppu biasanya dikeluarkan Presiden dalam situasi genting dan memaksa. Tidak hanya dalam masa perang, tetapi juga bisa diartikan ke dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan hukum.

Kompas.com/SABRINA ASRIL Wakil Ketua Majelis Pemusyawaratan Rakyat Hajriyanto Y Thohari

Namun, untuk kondisi kali ini, Hajriyanto menilai belum terjadi situasi genting karena Mahkamah Konstitusi masih bisa menjalankan tugasnya melakukan persidangan.

"Apakah kegentingan yang memaksa ini dinilai secara subyektif, mungkin saja ada kepentingan politik di dalamnya," ucap Hajriyanto.

Perppu itu, lanjutnya, juga akan diuji oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan juga melalui opini publik. Jika tidak diterima, maka akan gugur begitu saja. Belum lagi saat Presiden mengeluarkan perppu, masyarakat sudah berhak menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi.

"Kalau perppu ini nanti digugat ke MK, sementara undang-undangnya menyangkut persoalan MK, ini bisa tidak produktif. Karena itu, menurut saya, rencana dikeluarkannya perppu lebih banyak mubazir," ucap Hajriyanto.

Hajriyanto menyarankan agar fungsi pengawasan MK yang rencananya masuk ke dalam perppu lebih diatur dalam revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Daripada fungsi pengawasan MK diserahkan kepada Komisi Yudisial, Hajriyanto lebih setuju jika hakim konstitusi diawasi oleh dewan kehormatan yang bersifat permanen dan diisi oleh tokoh-tokoh independen.

"KY pekerjaannya sudah terlampau banyak, lebih aman kalau UU MK yang direvisi," kata Hajriyanto.

KPK menetapkan Akil sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait sengketa Pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah; dan Pilkada Lebak, Banten, yang ditangani Mahkamah Konstitusi (MK). Saat ini, Akil telah ditahan di Rumah Tahanan KPK sejak Kamis (3/10/2013). Sejak peristiwa ini terungkap ke publik, banyak desakan agar proses pengawasan dan rekrutmen MK diperbaiki.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian menggelar pertemuan dengan enam pimpinan lembaga negara seperti Ketua DPR, Ketua MA, Ketua KY, Ketua MPR, Ketua BPK, dan Ketua DPD pada Sabtu (5/10/2013). Pertemuan menghasilkan rumusan perlunya Presiden mengeluarkan perppu untuk mengembalikan kewenangan KY dan juga memperbaiki proses rekrutmen hakim konstitusi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Polri Tangkap 5 Tersangka Penipuan Berkedok Email Palsu, 2 di Antaranya WN Nigeria

Polri Tangkap 5 Tersangka Penipuan Berkedok Email Palsu, 2 di Antaranya WN Nigeria

Nasional
Terobosan Menteri Trenggono Bangun Proyek Budi Daya Ikan Nila Salin Senilai Rp 76 Miliar

Terobosan Menteri Trenggono Bangun Proyek Budi Daya Ikan Nila Salin Senilai Rp 76 Miliar

Nasional
Terdakwa Korupsi Tol MBZ Pakai Perusahaan Pribadi untuk Garap Proyek dan Tagih Pembayaran

Terdakwa Korupsi Tol MBZ Pakai Perusahaan Pribadi untuk Garap Proyek dan Tagih Pembayaran

Nasional
Rayakan Ulang Tahun Ke 55, Anies Gelar 'Open House'

Rayakan Ulang Tahun Ke 55, Anies Gelar "Open House"

Nasional
KSAU Tinjau Kesiapan Pengoperasian Jet Tempur Rafale di Lanud Supadio Pontianak

KSAU Tinjau Kesiapan Pengoperasian Jet Tempur Rafale di Lanud Supadio Pontianak

Nasional
Jokowi: Alat Komunikasi Kita Didominasi Impor, Sebabkan Defisit Perdagangan Rp 30 Triliun

Jokowi: Alat Komunikasi Kita Didominasi Impor, Sebabkan Defisit Perdagangan Rp 30 Triliun

Nasional
Wapres Ma’ruf Amin Minta Penyaluran Dana CSR Desa Diperhatikan agar Tepat Sasaran

Wapres Ma’ruf Amin Minta Penyaluran Dana CSR Desa Diperhatikan agar Tepat Sasaran

Nasional
Hakim MK Tegur KPU karena Renvoi Tak Tertib dalam Sengketa Pileg

Hakim MK Tegur KPU karena Renvoi Tak Tertib dalam Sengketa Pileg

Nasional
Soal Silaturahmi Kebangsaan dengan Presiden dan Wapres Terdahulu, Bamsoet: Tinggal Tunggu Jawaban

Soal Silaturahmi Kebangsaan dengan Presiden dan Wapres Terdahulu, Bamsoet: Tinggal Tunggu Jawaban

Nasional
Hormati Ganjar, Waketum Gerindra: Sikap Oposisi Bukan Pilihan yang Salah

Hormati Ganjar, Waketum Gerindra: Sikap Oposisi Bukan Pilihan yang Salah

Nasional
Ganjar Pilih di Luar Pemerintahan, Bamsoet: Boleh, tapi Kita Bekerja Gotong Royong

Ganjar Pilih di Luar Pemerintahan, Bamsoet: Boleh, tapi Kita Bekerja Gotong Royong

Nasional
Hanya Ada 2 'Supplier' Indonesia yang Pasok Perangkat untuk Apple, Jokowi: Memprihatinkan

Hanya Ada 2 "Supplier" Indonesia yang Pasok Perangkat untuk Apple, Jokowi: Memprihatinkan

Nasional
Jokowi Resmikan Indonesia Digital Test House, Anggarannya Hampir 1 Triliun

Jokowi Resmikan Indonesia Digital Test House, Anggarannya Hampir 1 Triliun

Nasional
KPK Didesak Usut Pemberian THR ke Anggota DPR dari Kementan, Panggil Bersaksi dalam Sidang

KPK Didesak Usut Pemberian THR ke Anggota DPR dari Kementan, Panggil Bersaksi dalam Sidang

Nasional
Pabrik Bata Tutup, Jokowi: Usaha Itu Naik Turun, karena Efisiensi atau Kalah Saing

Pabrik Bata Tutup, Jokowi: Usaha Itu Naik Turun, karena Efisiensi atau Kalah Saing

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com