Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Imparsial: KPK Keliru Rekrut TNI Jadi Penyidik

Kompas.com - 04/10/2013, 14:31 WIB
Rahmat Fiansyah

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti menilai, masuknya anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah keputusan keliru. Dengan prestasi KPK dalam mengungkap kasus-kasus korupsi selama ini, KPK seharusnya tidak perlu melibatkan TNI demi menjaga independensinya.

Pernyataan Poengky ini menanggapi rencana KPK merekrut penyidik dari kalangan TNI dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS).

"Tanpa keterlibatan TNI, kami menilai KPK sudah berhasil dalam melakukan kerja pemberantasan korupsi selama ini," ujar Poengky, di kantor Imparsial, Jakarta, Jumat (4/10/2013).

Menurut Poengky, melibatkan anggota TNI justru akan memperburuk citra KPK bila nantinya bersinggungan dengan kasus korupsi yang terjadi di sektor pertahanan. Dikhawatirkan, hal ini mengganggu independensi lembaga pemberantasan korupsi tersebut.

"Daripada melibatkan TNI, KPK seharusnya membentuk dan memperbanyak jumlah penyidik independen untuk memperkuat lembaganya," katanya.

Poengky menilai, selama ini KPK tidak berani menyentuh korupsi yang terjadi di sektor pertahanan, seperti dugaan penggelembungan dana (mark up) pembelian enam pesawat tempur Sukhoi SU-30 MK2 pada tahun 2012. Hingga saat ini, tidak ada perkembangan dari kasus tersebut yang diduga merugikan keuangan negara senilai Rp 700 miliar.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Program Imparsial Al-Araf menilai, KPK dan TNI merupakan dua institusi yang berbeda. Menurutnya, TNI adalah alat pertahanan negara, sementara KPK adalah penegak hukum. Dengan demikian, TNI tidak perlu masuk dalam ranah penegakan hukum karena melanggar tugas dan fungsinya seperti yang termuat dalam UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI.

"Kalau KPK mengadakan MoU (memorandum of understanding) dengan kepolisian atau kejaksaan itu tidak masalah karena mereka sama-sama penegak hukum," jelasnya.

Al-Araf juga menilai bahwa KPK tidak perlu melibatkan TNI dengan alasan agar lebih berani mengungkap kasus-kasus korupsi yang melibatkan kepolisian. Ia mencontohkan keberhasilan KPK dalam mengungkap kasus simulator SIM yang melibatkan salah satu petinggi Polri, Irjen Djoko Susilo.

Lowongan penyidik untuk TNI

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi membuka lowongan penyidik untuk kalangan TNI dan PPNS.

Hal ini merupakan bagian dari pengadaan 286 pegawai KPK melalui program Indonesia Memanggil.

"Untuk penyidik, kami akan menerima, lamaran sebenarnya sudah banyak datang dari PPNS. Jadi, ini akan dibuka untuk PPNS dan TNI," kata Direktur Sumber Daya Manusia KPK Apin Alvin di Jakarta, Kamis (16/5/2012).

Menurutnya, lowongan penyidik tidak dikhususkan untuk TNI dan PPNS saja. KPK masih tetap merekrut penyidik dari kalangan kepolisian, tetapi jalurnya berbeda.

"Biasanya, untuk Polri, mekanismenya dengan kerja sama Mabes Polri," kata Apin.

Sejauh ini, menurut Apin, sudah banyak lamaran yang masuk untuk posisi penyidik dari kalangan PPNS. Dia juga mengungkapkan, dari 286 lowongan itu, ada 149 jabatan fungsional, termasuk penyidik. Sisanya akan mengisi posisi administrasi sekitar 135 orang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Di Puncak Hari Air Dunia Ke-32, Menteri Basuki Ajak Seluruh Pihak Tingkatkan Kemampuan Pengelolaan Air

Di Puncak Hari Air Dunia Ke-32, Menteri Basuki Ajak Seluruh Pihak Tingkatkan Kemampuan Pengelolaan Air

Nasional
Ketum PGI Tagih Janji SBY dan Jokowi untuk Selesaikan Masalah Papua

Ketum PGI Tagih Janji SBY dan Jokowi untuk Selesaikan Masalah Papua

Nasional
Gus Muhdlor Kirim Surat Absen Pemeriksaan KPK, tetapi Tak Ada Alasan Ketidakhadiran

Gus Muhdlor Kirim Surat Absen Pemeriksaan KPK, tetapi Tak Ada Alasan Ketidakhadiran

Nasional
PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR Meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR Meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

Nasional
Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Nasional
Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Nasional
Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, 'Push Up'

Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, "Push Up"

Nasional
KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

Nasional
Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Nasional
Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Nasional
KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

Nasional
Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Nasional
Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Nasional
Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 Miliar 

Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 Miliar 

Nasional
Jokowi yang Dianggap Tembok Besar Penghalang PDI-P dan Gerindra

Jokowi yang Dianggap Tembok Besar Penghalang PDI-P dan Gerindra

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com