Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mewaspadai "Bubble" Popularitas Jokowi

Kompas.com - 18/09/2013, 10:05 WIB
Sabrina Asril

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com
 — Kehadiran sosok Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo di pentas perpolitikan nasional sebelum perhelatan Pemilu 2014 terbilang istimewa. Nama Jokowi merajai hampir semua survei elektabilitas calon presiden, bahkan saat dia maupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan belum pernah membuat deklarasi pencalonannya.

Popularitas Jokowi mengalahkan sosok politisi senior seperti Aburizal "Ical" Bakrie, Prabowo Subianto, Wiranto, Hatta Rajasa, maupun Megawati Soekarnoputri. Tak pelak, kekhawatiran pun mulai muncul di kalangan partai politik yang tak ingin Jokowi melenggang sebagai calon presiden.

Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tanjung mengaku mafhum dengan mulai munculnya upaya "penjegalan" Jokowi. "Isu-isu berkaitan calon, baik sudah ditetapkan resmi maupun belum, itu hal yang biasa. Jadi, tak usah terlalu terpengaruh isu yang dilemparkan terkait Jokowi," ujar Akbar dalam pertemuan dengan sejumlah media massa di kediamannya, Selasa (17/9/2013).

Beberapa waktu terakhir, beragam pernyataan bernada "menyerang" Jokowi memang bermunculan. Sebut saja misalnya, pernyataan Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional Amien Rais yang meragukan nasionalisme Jokowi. Lalu, ada juga pelarangan Jokowi maju sebagai capres yang dilontarkan petinggi Partai Gerakan Indonesia Raya.

Gerindra, yang berkongsi dengan PDI Perjuangan untuk kepemimpinan di DKI Jakarta, "menagih" komitmen Jokowi untuk menuntaskan masa jabatannya di Jakarta. Partai ini pun berulang kali menyinggung soal kontrak politik yang dibuat bersama PDI Perjuangan pada 2009, yang menurut partai ini menyepakati pengusungan bersama Prabowo sebagai calon presiden pada Pemilu Presiden 2014.

Politisi Partai Demokrat Ruhut Sitompul bahkan mencibir wacana pengusungan Jokowi sebagai capres. Menurutnya, Jokowi belum menghasilkan apa pun bagi Jakarta. Dengan gayanya yang khas, Ruhut dengan lugas berpendapat kondisi Jakarta justru lebih kacau saat ditangani Jokowi dibandingkan saat dipimpin Fauzi Bowo pada periode sebelumnya. Ruhut menuding masyarakat hanya terbuai dengan popularitas Jokowi, tanpa melihat realita dari program-programnya.

Politisi PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari menilai serangan terhadap Jokowi itu adalah bukti upaya menjadikan Jokowi sebagai musuh bersama partai politik. "Kami paham Jokowi dihujani serangan dari banyak sisi. Untung kami belum deklarasi. Belum apa-apa saja sudah mulai jadi common enemy," ungkap Eva.

Meski hujan cercaan mulai datang, popularitas Jokowi tetap saja melenggang. Media massa dianggap memegang peran kunci. Jokowi sampai kerap disebut sebagai "media darling" karena nyaris semua media massa tak henti memberitakannya.

Wartawan senior Harian Kompas Budiarto Shambazy mengungkapkan Jokowi diminati media karena tidak ada lagi sosok lain. "Orang sudah bosan melihat, tidak ada figur lain. Mau siapa? SBY? Apalagi 11 peserta konvensi? Sudah bosan. Biarkanlah Jokowi menjadi media darling, jangan dihentikan," ungkap dia dalam sebuah diskusi tentang Komersialisasi Media di Jakarta, Selasa (17/9/2013).

Efek "bubble" Jokowi akan terjadi?

KOMPAS/RAD, HAS, RON, SET, KUM, AIC, ARB Potensi dukungan dan penolakan dihitung berdasarkan penjumlahan elektabilitas dan resistensi sosok yang dipasangkan. Dukungan sosok didasarkan pada perolehan dukungan hasil survei dengan perolehan minimal 1% pendukung. Pengategorian

Bukan berarti Jokowi tak harus bersikap waspada. Kondisi yang kini membuat popularitas dan elektabilitasnya melejit bisa saja berubah dan bahkan berbalik 180 derajat. Budiarto merujuk istilah ekonomi "bubble" sebagai analogi ancaman dari besarnya gelombang dukungan yang kini didapat Jokowi.

Budiarto juga menggambarkan situasi Jokowi serupa dengan Presiden Barack Obama. Saat pertama kali mencalonkan diri, dideklarasikan pada 2007, Obama menanggung harapan yang sangat besar dari warga Amerika untuk membawa perubahan. Namun, seiring waktu, sampai saat ini, Obama kerap berhadapan dengan banyak ekspresi kekecewaan karena harapan yang sedemikian besar dari warganya ternyata tak gampang diwujudkan.

"Sekarang ini Jokowi seperti Obama, kurva dukungannya sangat tinggi, tapi nanti di suatu waktu dia akan terjadi 'bubble',” ujar Budiarto. Contoh pecahnya gelembung dukungan Obama, sebut dia, sangat kental terlihat dalam menghadapi krisis Suriah, ketika Obama sangat kesulitan mendapatkan dukungan untuk menggelar aksi militer. 

Hal yang kini dihadapi Obama, menurut Budiarto, sangat mungkin juga menimpa Jokowi. "Audiens kita ini 'telenovela', bisa sangat rindu terhadap satu tokoh, tapi bisa saja dia (tokoh itu, red) kemudian dimaki habis-habisan,” imbuh Budiarto.

Psikolog politik Hamdi Muluk mengatakan, di balik popularitas Jokowi, ada kepercayaan publik yang luar biasa besar terhadap pengusaha kayu itu. Dia pun berpendapat persoalan popularitas yang selalu dikait-kaitkan dengan Jokowi dan disebut dengan "fenomena Jokowi" adalah upaya mendeligitimasi kemampuan kepemimpinan Jokowi.

"Padahal, baru kali ini saya lihat ada seseorang yang punya social trust begitu tinggi. Jokowi ini tidak bodoh, dia tidak umbar janji. Tapi, dia menyadarkan masyarakat untuk berdiri di belakangnya," ucap Hamdi. Dia pun melihat Jokowi mampu menggerakkan masyarakat untuk terlibat melakukan perubahan. Tanah Abang, sebut dia, adalah contoh yang dia sebut sebagai contoh kemampuan Jokowi melakukan perubahan dengan melibatkan masyarakat.

Hamdi memuji sosok Jokowi telah mengembalikan prinsip politik kepada hakikatnya, di tengah situasi politik yang kini sudah kental dianggap semata sebagai kongkalikong elite politik. Namun, senada dengan Budiarto, Hamdi juga berpendapat setiap gelagat "bubble Jokowi" harus diwaspadai.

Bila Jokowi maju menjadi calon presiden, Hamdi berkeyakinan tak akan ada yang bisa menjegalnya. Hanya satu hal, sebut dia, yang bisa menjatuhkan Jokowi. "(Yakni) kinerja Jokowi di Ibu Kota," sebut dia.

Sementara tantangan terberat Jokowi di Jakarta adalah masalah transportasi massal. "Kalau dia tidak di-backup, maka kerjaan politik dan kerjaan publik Jokowi ini yang akan bubbling nantinya," tegas Hamdi. Apalagi bila Jokowi sampai terjebak mengumbar janji, imbuh dia, kemerosotan popularitas dan elektabilitas dipastikan akan segera terjadi.

"Dia harus benar-benar punya kecakapan atau skill memimpin, dan juga kecakapan manajerial. Jokowi juga harus menjaga integritas moralnya dengan tetap menjaga sebagai sosok yang bersih. Jika semuanya dipegang, ini akan jadi modalitas Jokowi pada 2014. Jika tidak, maka yang terjadi sebaliknya karena masyarakat punya ekspektasi besar terhadap kinerja Jokowi," papar Hamdi.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Spesifikasi Rudal Exocet MM40 dan C-802 yang Ditembakkan TNI AL saat Latihan di Bali

Spesifikasi Rudal Exocet MM40 dan C-802 yang Ditembakkan TNI AL saat Latihan di Bali

Nasional
Dubes Palestina Yakin Dukungan Indonesia Tak Berubah Saat Prabowo Dilantik Jadi Presiden

Dubes Palestina Yakin Dukungan Indonesia Tak Berubah Saat Prabowo Dilantik Jadi Presiden

Nasional
Gambarkan Kondisi Terkini Gaza, Dubes Palestina: Hancur Lebur karena Israel

Gambarkan Kondisi Terkini Gaza, Dubes Palestina: Hancur Lebur karena Israel

Nasional
Ada Isu Kemensos Digabung KemenPPPA, Khofifah Menolak: Urusan Perempuan-Anak Tidak Sederhana

Ada Isu Kemensos Digabung KemenPPPA, Khofifah Menolak: Urusan Perempuan-Anak Tidak Sederhana

Nasional
DPR Disebut Dapat KIP Kuliah, Anggota Komisi X: Itu Hanya Metode Distribusi

DPR Disebut Dapat KIP Kuliah, Anggota Komisi X: Itu Hanya Metode Distribusi

Nasional
Komisi II DPR Sebut Penambahan Kementerian Perlu Revisi UU Kementerian Negara

Komisi II DPR Sebut Penambahan Kementerian Perlu Revisi UU Kementerian Negara

Nasional
Pengamat Dorong Skema Audit BPK Dievaluasi, Cegah Jual Beli Status WTP

Pengamat Dorong Skema Audit BPK Dievaluasi, Cegah Jual Beli Status WTP

Nasional
Maju Nonpartai, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Wali Kota dan Bupati Independen?

Maju Nonpartai, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Wali Kota dan Bupati Independen?

Nasional
Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Minim Pengawasan

Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Minim Pengawasan

Nasional
DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu hingga Mei

DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu hingga Mei

Nasional
DKPP Keluhkan Anggaran Minim, Aduan Melonjak Jelang Pilkada 2024

DKPP Keluhkan Anggaran Minim, Aduan Melonjak Jelang Pilkada 2024

Nasional
Jawab Prabowo, Politikus PDI-P: Siapa yang Klaim Bung Karno Milik Satu Partai?

Jawab Prabowo, Politikus PDI-P: Siapa yang Klaim Bung Karno Milik Satu Partai?

Nasional
Pengamat Sarankan Syarat Pencalonan Gubernur Independen Dipermudah

Pengamat Sarankan Syarat Pencalonan Gubernur Independen Dipermudah

Nasional
Komnas Haji Minta Masyarakat Tak Mudah Tergiur Tawaran Haji Instan

Komnas Haji Minta Masyarakat Tak Mudah Tergiur Tawaran Haji Instan

Nasional
Libur Panjang, Korlantas Catat Peningkatan Arus Lalu Lintas

Libur Panjang, Korlantas Catat Peningkatan Arus Lalu Lintas

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com