Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Tantowi Yahya menilai, elektabilitas Jokowi yang melambung tinggi justru berbahaya. Menurutnya, gelaran pemilihan presiden masih cukup lama, sehingga dinamika politik bisa saja terjadi.
"Terlalu awal. Survei melambung juga bahaya karena Pilpres masih setahun lagi. Ketika di atas pilihannya kan cuma turun, sementara kalau masih di bawah pilihannya naik," ujar Tantowi, saat dihubungi, Senin (26/8/2013).
Tantowi mengatakan, partainya masih memiliki cukup waktu untuk meningkatkan elektabilitas Ical. Menurutnya, selama ini "One United Campaign" belum terlaksana dengan baik karena faktor seperti peraturan KPU yang masih membingungkan.
"Program-program kami juga belum tereksekusi semua baik itu yang melibatkan media (above the line) maupun yang bersentuhan langsung dengan rakyat (below the line)," kata anggota Komisi I DPR ini.
Ia yakin, citra Ical nantinya bisa menyalip citra Jokowi yang saat ini dielu-elukan masyarakat. Meski memiliki sifat yang berbeda, namun, menurutnya, sosok Ical mampu meningkatkan percepatan pertumbuhan ekonomi, ketersediaan lapangan pekerjaan, dan pembangunan desa-desa.
"Capres yang orientasinya ke sana dan punya kemampuan dan pengalaman untuk itu ya ARB (Ical). Kami perlu kerja keras untuk mensosialisasikan hal ini ke masyarakat," katanya.
Menurut catatan Litbang Kompas, jika mengamati hasil survei, dukungan terhadap Prabowo, Aburizal, Megawati, dan Jusuf Kalla sejauh ini masih berkutat dan terpilah-pilah pada kalangan terbatas saja. Adapun, karakter dan kompetensi Jokowi, sosok generasi baru dalam panggung politik nasional, sekaligus menjadi diferensiasi dirinya ketimbang capres lain pilihan responden.
Sementara itu, basis dukungan publik kepada Aburizal juga masih bertumpu kepada para simpatisan Golkar. Dua hasil survei memang menunjukkan adanya peningkatan dukungan terhadap dirinya. Namun, di sisi lain terjadi pula peningkatan penolakan responden yang sangat signifikan. Alasan terbesar masih berputar pada kasus Lapindo dan anggapan kurang keberpihakan kepada rakyat. Sebaliknya, bagi para pendukungnya, sosok Aburizal diidentikkan positif sebagai sosok pengusaha kaya yang kerap turun langsung membantu masyarakat.
Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan popularitas Joko Widodo (Jokowi) dibandingkan dengan sosok lainnya mengindikasikan kian menguatnya tuntutan masyarakat terhadap kehadiran generasi kepemimpinan politik nasional baru yang tidak bersifat artifisial. Kesimpulan demikian tampak dari dua hasil survei opini publik yang dilakukan secara berkala (longitudinal survey) terhadap 1.400 responden—calon pemilih dalam Pemilu 2014—yang terpilih secara acak di 33 provinsi.
Besarnya proporsi pemilih yang sudah memiliki preferensi terhadap sosok calon presiden secara signifikan hanya bertumpu kepada lima nama: Joko Widodo, Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Megawati Soekarnoputri, dan Jusuf Kalla. Pada survei terakhir (Juni 2013), lima sosok itu mampu menguasai dua pertiga responden. Sisanya (18,2 persen) tersebar pada 16 sosok calon presiden lainnya.
Dibandingkan dengan survei pada Desember 2012, ruang gerak penguasaan ke-16 sosok "papan bawah" popularitas ini relatif stagnan, yang menandakan kecilnya peluang lonjakan mobilitas setiap sosok ke papan atas (lihat grafik). Dari kelima sosok yang berada pada papan atas popularitas capres, kemunculan Jokowi sebagai generasi baru dalam panggung pencarian sosok pemimpin nasional menarik dicermati. Ia langsung menempati posisi teratas dengan selisih yang terpaut cukup jauh dengan keempat calon lain yang namanya sudah menasional selama ini.
Saat ini, tingkat keterpilihan Jokowi mencapai 32,5 persen. Proporsi itu meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan tingkat keterpilihannya pada Desember 2012. Di sisi lain, tingkat penolakan responden terhadap dirinya tampak minim dan semakin kecil. Dari seluruh responden, yang secara ekstrem tidak menghendaki dirinya menjadi presiden hanya di bawah 5 persen.
Sebaliknya, saat ini basis dukungan terhadap Jokowi makin luas. Ia makin diminati oleh beragam kalangan, baik dari sisi demografi, sosial ekonomi, maupun latar belakang politik pemilih. Dari sisi demografi, misalnya, dukungan dari kalangan beragam usia, jenis kelamin, ataupun domisili responden Jawa maupun luar Jawa bertumpu kepadanya.
Sosoknya juga populer tidak hanya bagi kalangan ekonomi bawah, tetapi juga kalangan menengah hingga atas. Ia pun diminati oleh beragam latar belakang pemilih partai politik, tidak hanya tersekat pada para simpatisan PDI Perjuangan, partai tempatnya bernaung. Bagi responden pendukungnya, paduan antara karakteristik persona yang dimiliki dan kompetensi yang ditunjukkan Jokowi selama ini menjadi alasan utama mereka menyandarkan pilihan. Ketulusan, kepolosan, dan kesederhanaan yang ditunjukkan Jokowi menjadi modal kepribadian yang memikat publik.
Sisi kepribadian tersebut berpadu dengan kompetensi yang ditunjukkan selama ini dalam langkah politiknya. Ia tidak bersifat elitis, gemar turun langsung memotret persoalan. Sebagai pemimpin lokal, ia produktif mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat dan mencoba konsisten menyelesaikan permasalahan. Paduan antara sosok kepribadian dan tindakannya yang dinilai publik tidak artifisial ini mendapatkan tempat yang tepat di saat bangsa tengah merindukannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.