Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Marketing Politik, Perlukah Mahal? Tergantung...

Kompas.com - 30/05/2013, 19:16 WIB
Indra Akuntono

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Marketing atau pemasaran politik harus selalu ditopang dengan kekuatan finansial. Konsep ini turut dipercaya sejumlah kandidat yang bertarung memperebutkan jabatan publik, seperti kepala daerah. Namun, benarkan konsep demikian?

Mantan dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) Firmanzah mengatakan, semua politisi bisa menekan biaya berpolitiknya. Dengan catatan, politisi tersebut memiliki dan memahami modal utamanya, yakni modal sosial. Dalam berpolitik, kata Firman, yang juga Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi, setiap politisi harus memiliki peta kekuatannya sendiri, termasuk keunggulan pribadinya dan konstituen di daerah pemilihan. Mereka disarankan tampil sebagai agen perubahan dan mampu menggunakan kekuatan partai yang menjadi kendaraan politiknya.

Menurut Firman, ada dua modal yang paling menentukan saat seseorang ingin menang dalam pertarungan politik. Selain modal sosial, adalah modal kapital. Modal sosial adalah tingkat popularitas, sedangkan modal kapital adalah dari sisi finansial.

Firmanzah menyatakan, yang paling menguntungkan adalah saat politisi tersebut telah populer di daerahnya sekaligus unggul dari sisi finansial. Dengan begitu, probabilitas kemenangan sangat besar, baik saat maju menjadi calon anggota legislatif, calon bupati, ataupun calon gubernur.

Lalu bagaimana dengan politisi yang hanya memiliki modal kapital? Menurut Firman, politisi jenis ini akan memerlukan biaya yang sangat besar untuk "membeli" modal sosialnya. Gelontoran dana akan dialirkan untuk menyumbang kegiatan masyarakat, dan muncul di media lokal untuk memperkenalkan diri kepada publik.

"Kalau modal kapitalnya rendah tapi dia populer, masyarakat tahu dengan jasa-jasanya, itu bisa terbantu," kata Firmanzah, dalam Diskusi Center of Information and Studies (Cides) dengan tema "Marketing Politik, Haruskah Mahal?", di Gedung Parlemen, Jakarta, Kamis (30/5/2013).

Firman memberi contoh, pada pemilihan anggota legislatif 2009, ada seorang calon yang berhasil menjadi anggota DPR dengan modal tak lebih dari Rp 350 juta. Calon tersebut merupakan aktivis, dan memiliki jaringan kuat di daerah pemilihannya. Padahal di waktu yang sama, ada seorang calon yang merupakan pengusaha. Karena lemah secara sosial, calon tersebut harus mengeluarkan biaya tak kurang dari Rp 9 miliar untuk akhirnya menjadi politisi Senayan.

"Perlukah merketing politik mahal? Tergantung," ujar Firman.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

    Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

    Nasional
    Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

    Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

    Nasional
    Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

    Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

    Nasional
    Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

    Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

    Nasional
    Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

    Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

    Nasional
    Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

    Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

    Nasional
    Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

    Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

    Nasional
    Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

    Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

    Nasional
    Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

    Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

    Nasional
    Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

    Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

    Nasional
    PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

    PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

    Nasional
    Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

    Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

    Nasional
    Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

    Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

    Nasional
    BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

    BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

    Nasional
    Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

    Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com