Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kudeta Redaksional UU Kesehatan, Mesti Diusut

Kompas.com - 12/10/2009, 20:46 WIB

PADANG, KOMPAS.com — Kudeta redaksional yang terjadi pada Undang-Undang Kesehatan tak bisa dianggap sepele. Ini persoalan serius yang semestinya harus diusut, siapa yang menjadi biang terjadinya hal ini. Sebab, jangankan menghilangkan butiran ayat dari sebuah pasal, mengubah titik-koma sekalipun harus melalui rapat paripurna.

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Padang, Saldi Isra, mengatakan hal itu, Senin (12/10) di Padang. "Ini bukan kasus yang pertama karena sebelumnya juga pernah terjadi pada Undang-Undang tentang Legislatif. Namun demikian, kejadian kudeta redaksional ini jangan diabaikan begitu saja. Sebab, jika hal ini terjadi karena pelaku di DPR, berpotensi merugikan Presiden. Dan, jika terjadi penghilangan ayat di pasal itu di legislatif, ini berpotensi merugikan legislatif," tandas Saldi Isra.

Kudeta redaksional itu terjadi pada Bagian ke-17 Pengamanan Zat Adiktif, Pasal 113. Ketika ditetapkan paripurna DPR, ada tiga ayat dalam Pasal 113 tersebut. Namun, ketika ditandatangani Presiden dan disahkan sebagai lembaran negara, pasal tersebut hanya terdiri dari dua ayat.

Ayat (2) yang hilang tersebut berbunyi: Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya. Sedangkan Pasal (3) pada hasil rapat paripurna menjadi Pasal (2) pada UU Kesehatan di lembaran negara yang ditandatangani Presiden, yang bunyinya: Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan.

Saldi menjelaskan, walaupun sudah disahkan, ditandatangani Presiden dan menjadi lembaran negara, masih ada peluang masyarakat untuk mengajukan ke Mahkamah Konstitusi. Apa yang ditetapkan di paripurna harus menjadi pegangan setiap orang. Jika terjadi kudeta redaksional bisa diajukan ke Mahkamah Agung karena cacat dari segi proses. Ada uji formal dan uji material. Uji material karena ada kudeta redaksional atau istilah lain penyelundupan legislasi. Uji formal karena terjadi sesuatu di luar konstitusi.

Menurut Saldi, terjadinya kudeta redaksional pada Undang-Undang Kesehatan itu diduga ada permainan uang pihak-pihak terkait dengan masalah tembakau atau produk yang mengandung tembakau. Karena pasti ada pihak-pihak yang dirugikan dengan keberadaan Ayat (2) yang dikudeta tersebut. Segera usut siapa yang bermain dan apa motifnya, tandas Saldi, salah seorang tokoh yang pernah mendapatkan Bung Hatta Anticorruption Award.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Nasional
Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Nasional
Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Nasional
Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Nasional
Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Nasional
UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

Nasional
Jemaah Haji Tak Punya 'Smart Card' Terancam Deportasi dan Denda

Jemaah Haji Tak Punya "Smart Card" Terancam Deportasi dan Denda

Nasional
Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

Nasional
Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, PKS: Kontrol Terhadap Pemerintah Wajib

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, PKS: Kontrol Terhadap Pemerintah Wajib

Nasional
Istri di Minahasa Dibunuh karena Mengigau, Komnas Perempuan Sebut Fenomena Femisida

Istri di Minahasa Dibunuh karena Mengigau, Komnas Perempuan Sebut Fenomena Femisida

Nasional
Kabaharkam Siapkan Strategi Pengamanan Khusus di Akses Masuk Pelabuhan Jelang WWF ke-10 di Bali

Kabaharkam Siapkan Strategi Pengamanan Khusus di Akses Masuk Pelabuhan Jelang WWF ke-10 di Bali

Nasional
Ketua KPU Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada, Pakar: Jangan-jangan Pesanan...

Ketua KPU Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada, Pakar: Jangan-jangan Pesanan...

Nasional
Sebut Caleg Terpilih Tak Wajib Mundur jika Maju Pilkada, Ketua KPU Dinilai Ingkari Aturan Sendiri

Sebut Caleg Terpilih Tak Wajib Mundur jika Maju Pilkada, Ketua KPU Dinilai Ingkari Aturan Sendiri

Nasional
Minta La Nyalla Kembali Pimpin DPD RI, Fahira Idris: Penguatan DPD RI Idealnya Dipimpin Sosok Pendobrak

Minta La Nyalla Kembali Pimpin DPD RI, Fahira Idris: Penguatan DPD RI Idealnya Dipimpin Sosok Pendobrak

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com