JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno menyebut bahwa kegagalan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) lolos ke parlemen dari hasil pemilihan legislatif (Pileg) 2024 adalah buntut dari kegagalan memetakan pemilih yang 60 persen adalah pemilih muda.
Namun, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia ini mengatakan, setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan partai Islam yang sudah 31 tahun eksis dalam perpolitikan di Tanah Air itu untuk pertama kalinya gagal menembus parlemen.
Faktor pertama, PPP gagal meningkatkan atau memaksimalkan kinerja politik mereka untuk mengamankan ambang batas lolos ke parlemen sebesar 4 persen dari suara nasional.
Adi menyebut bahwa PPP gagal karena sejumlah survei sebelumnya telah mempersepsikan perolehan suara partai berlambang Kabah tersebut tidak mencapai 4 persen meskipun masih ada perhitungan rentang margin of error dari survei.
“Sebenarnya sejak awal, jauh sebelum pileg dilaksanakan kan sudah begitu banyak survei yang mengindikasikan bahwa PPP diprediksi tidak lolos ambang batas parlemen 4 persen,” kata Adi dalam program Obrolan Newsroom Kompas.com yang tayang di kanal YouTube Kompas.com, Selasa (11/6/2024).
Baca juga: Tak Ada Cara Lain yang Bisa Antarkan PPP Lolos ke Parlemen
“Artinya, saya kira sudah banyak petunjuk PPP sudah masuk dalam lampu kuning supaya mereka meningkatkan akseptabilitas dan kinerja mereka untuk mengamankan 4 persen,” ujarnya melanjutkan.
Faktor kedua, Adi mengatakan, PPP gagal menangkap portofolio pemilih di 2024 yang sekitar 60 persennya adalah gen z dan gen y atau pemilih muda. Sebab, diketahui bahwa pemilih loyal PPP adalah pemilih tradisional yang tersebar di pedesaan.
PPP disebut gagal melakukan perubahan gaya komunikasi dan peneterasi politik terhadap pemilih muda yang preferensi politiknya berbeda dengan pemilih tradisional yang menjadi basis suara PPP.
“Dalam konteks inilah sepertinya memang PPP agak sedikit gagal menangkap semangat zaman, ada pergeseran perilaku pemilih ya, yang dulu misalnya PPP sangat mengandalkan pemilih-pemilih tradisional mereka. Tetapi, per hari ini pemilih tradisional itu semakin berkurang dimakan usia dan pada saat yang bersamaan ketika muncul pemilih-pemilih muda itu gagal untuk ditangkap,” katanya.
Baca juga: Gugatan Kandas di MK, PPP Cari Cara Lain untuk Masuk Parlemen
Bahkan, Adi langsung menyebut bahwa para calon anggota legislatif (caleg) PPP di beberapa daerah gagal menangkap perubahan pemilih tersebut. Secara konkret, terkait dengan model kampanye sampai visi misi.
Padahal, dia mengatakan, caleg seharusnya menjadi garda terdepan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat sehingga menjadi kunci meraup suara di Pemilu 2024.
“Ini yang saya kira penetrasi caleg khususnya ketika dia dimajukan itu yang saya sebutkan gagap atau gagal menangkap semangat zaman. Sebenarnya caleg-caleg PPP mungkin dalam konteks itu gagal memahami anak zamannya. Jadi wajar kalau kemudian kalah bersaing dengan partai-partai yang lain,” ujar Adi.
“Jadi bagi saya, ujung tombak kenapa PPP itu tidak lolos (ke parlemen) salah satunya adalah kerja-kerja caleg di wilayah tertentu, di dapil (daerah pemilihan) tertentu yang tidak mendapatkan kursi,” katanya melanjutkan.
Baca juga: Semua Gugatan Mentah di MK, PPP Out dari DPR
Oleh karena itu, menurut dia, PPP perlu kerja keras menciptakan model komunikasi politik yang bisa diterima dikalangan anak muda atau pemilih muda. Tetapi, sekaligus mempertahankan pemilih setia mereka.
“Partai politik berpacu dengan zaman, kalah membangun komunikasi politik, gagal melakukan kerja-kerja politik yang solid di kalangan pemilih politik yang berubah ini maka kemudian dia akan mendapatkan hukuman bukan hanya berkurang suaranya bahkan mungkin tidak akan lolos ke parlemen,” katanya.