JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik dari Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga menilai, tak ada alasan kuat presiden atau kepala daerah dipilih MPR atau legislatif.
Menurut Jamiluddin, jika usulan agar presiden kembali dipilih MPR karena Pemilu 2024 terlalu brutal imbas politik uang, itu adalah usul konyol.
Menurut Jamiluddin, jika yang dipermasalahkan adalah politik uang, itu artinya yang bermasalah adalah pesertanya, bukan sistem pilpres-nya.
"Jadi, kalau persoalannya mengembalikan sistem pilpres langsung ke tidak langsung karena maraknya politik uang, maka itu sikap yang konyol. Sebab, kalau ini yang terjadi, maka masalahnya bukan sistem pilpresnya, tapi pihak-pihak yang menjadi peserta pilpres, termasuk capresnya sendiri," ujar Jamiluddin kepada Kompas.com, Jumat (7/6/2024).
Baca juga: Fahri Hamzah: Kalau Presiden Dipilih MPR, Pilpres Harus Berbasis Electoral College Seperti di AS
"Dalam konteks ini, peserta pilpres, termasuk calonnya, justru yang mengabaikan hukum dan HAM. Sebab dengan membenarkan politik uang, mereka justru sudah tidak tegak melaksanakan hukum dan melanggar HAM," sambungnya.
Jamiluddin menjelaskan, jika pilpres dipilih oleh rakyat dinilai biayanya tinggi, bisa jadi hal itu justru datang dari peserta capres dan calonnya.
Dia menduga bisa saja mereka yang melakukan politik uang, termasuk memberi sembako, biaya perjalanan dengan tim yang gemuk, jor-joran iklan, hingga mengeluarkan biaya untuk saksi.
"Khusus biaya saksi, untuk apa dikeluarkan oleh pihak peserta pilpres. Sebab, hal itu sudah menjadi tugas Bawaslu untuk mengawasi pelaksanaan pencoblosan dan penghitungan suara. Bila tugas itu tidak bisa dilaksanakan dengan baik oleh Bawaslu, maka yang bermasalah ada pada lembaga pengawas itu," tutur Jamiluddin.
Jamiluddin mengatakan, jika Bawaslu bertugas sesuai fungsi, seharusnya tidak perlu ada biaya saksi dari peserta pilpres.
Dengan begitu, tentu akan menghemat biaya bagi para peserta pilpres.
Selain itu, terkait alasan pilpres dipilih rakyat dinilai akan memunculkan keterbelahan di tengah masyarakat, itu juga tidak logis.
Pasalnya, kata Jamiluddin, meski pilpres sudah berulang kali dilakukan secara langsung, keutuhan NKRI tetap terjaga hingga saat ini.
"Jadi, kalau ada keterbelahan hal itu bisa jadi karena dari peserta pilpres itu sendiri. Para peserta pilpres melakukan kampanye hitam sehingga membuat pendukungnya apriori terhadap peserta dan pendukung capres lainnya. Kampanye hitam ini, suka tidak suka selalu mengemuka setiap pilpres," terangnya.
Maka dari itu, Jamiluddin mengatakan, seharusnya tidak ada alasan yang kuat untuk mengembalikan pilpres secara tidak langsung atau kembali dipilih oleh MPR.
Dia menegaskan hal itu tidak boleh dilakukan karena membawa Indonesia mundur ke masa Orde Baru lagi.
Baca juga: Bamsoet: MPR Sudah Siapkan Karpet Merah untuk Amendemen UUD 1945