JAKARTA, KOMPAS.com - Hingga Rapat Paripurna ke-19 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2023-2024 pada 4 Mei 2024, DPR belum mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK).
Padahal, sebelumnya, dalam rapat kerja yang digelar pada masa reses, Komisi III dan Pemerintah sepakat membawa RUU tersebut ke pengambilan keputusan tingkat II di rapat paripurna.
Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto mengatakan, revisi UU MK belum masuk ke rapat paripurna karena DPR masih fokus terhadap pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025.
Dia menyebut, pembahasan APBN perlu dilakukan hati-hati karena saat ini kondisi global kurang menguntungkan bagi negara manapun.
"Apa yang penting di Republik ini adalah APBN atau rata-rata fokus di APBN," kata Bambang di Kompleks Parlemen, Jakarta, dikutip dari Antaranews, Kamis (6/6/2024).
Baca juga: Poin-poin Pidato Megawati di Rakernas PDI-P, Bicara Kecurangan Pemilu sampai Kritik Revisi UU MK
Selain itu, menurut dia, APBN juga menjadi konsentrasi pembahasan karena saat ini Indonesia akan mengalami transisi pemerintahan pada Oktober 2024 denga dilantiknya Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih periode 2024-2029, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
"Jadi pembahasan harus sangat hati-hati dan bijaksana, jadi situasi seperti itu seluruh negara,” ujar dia.
Sebelumnya, Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan Revisi Undang-Undang (RUU) tentang Mahkamah Konstitusi (MK) belum dimasukkan ke Rapat Paripurna karena DPR ingin mendengar terlebih dahulu masukan dari masyarakat.
Sebagaimana diberitakan, Komisi III dan Pemerintah sepakat membawa RUU MK ke pengambilan keputusan tingkat II di rapat paripurna. Itu berdasarkan hasil rapat Komisi III DPR bersama Menteri Koordinator Politik Hukum dan, Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly yang mewakili pemerintah di kompleks parlemen, Jakarta pada 13 Mei 2024.
Menariknya, rapat kerja tersebut digelar saat DPR masih dalam masa reses, yakni sejak 5 April 2024 hingga 13 Mei 2024.
Baca juga: Fraksi PDI-P Bakal Komunikasi dengan Fraksi Lain untuk Tolak Revisi UU MK
Namun, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, rapat pleno pengambilan keputusan tingkat I mengenai revisi MK tersebut sudah mendapat izin dari pimpinan DPR.
"Ya seharusnya kalau ada pembahasan di masa reses harusnya sudah izin pimpinan, dan itu sudah saya cek ada izin pimpinannya," ujar Dasco saat ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari lantas menduga, banyak kepentingan yang hendak dicapai melalui upaya merevisi UU MK.
Sebab, menurut dia, ada yang janggal dalam aturan mengenai masa jabatan hakim yang diatur dalam draf revisi UU MK tersebut. Sehingga, dia mencurigai bahwa revisi tersebut hanyalah alat sandera untuk kepentingan politik.
“Ini kan lucu-lucuan sebenarnya DPR ini. Kalau kita baca baik-baik (draf revisi), kalau (hakim konstitusi) lebih dari lima tahun harus konfirmasi lembaga pengusul, 10 tahun lanjutkan sampai 70 tahun. itu logikanya dari mana,” kata Feri dalam program Obrolan Newsroom bersama Kompas.com pada 14 Mei 2024.