LAYAKNYA sinetron, drama mengenai Mahkamah Konstitusi (MK) seperti tidak pernah selesai. Setelah mendapat sorotan tajam dalam beberapa waktu terakhir, khususnya sebelum dan sesudah Pemilu 2024 dilaksanakan, kini MK kembali menjadi fokus perhatian publik.
Untuk kali ini bukan karena putusan kontroversial, tetapi karena adanya revisi Undang-undang MK yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang.
Revisi tersebut mengandung beberapa persoalan fundamental dalam aspek formil prosedural maupun aspek materiil substansi muatan pasal yang diubah.
Dalam aspek formil, misalnya, pembahasan tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna dan pengambilan persetujuan tingkat pertama terkesan dilakukan secara ‘diam-diam’.
Faktanya ada beberapa anggota Komisi III DPR yang tidak mengetahui agenda tersebut. Ditambah lagi pengambilan persetujuan dilakukan pada saat DPR sedang menjalani masa reses.
Sedangkan dalam aspek materiil, materi muatan hanya berkutat pada persoalan mengenai masa jabatan hakim konstitusi, yang sebenarnya sarat kepentingan politik penguasa untuk mengontrol para hakim konstitusi.
Perubahan masa jabatan hakim konstitusi sebenarnya bukan terjadi kali ini. Sejak diundangkannya UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, percobaan untuk mengotak-atik masa jabatan hakim konstitusi selalu dilakukan.
Terakhir, melalui UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga UU MK, pembentuk UU mengubah masa jabatan dari yang awalnya 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya (model periodesasi) menjadi maksimal 15 (lima belas) tahun sejak diangkat pada usia 55 tahun hingga usia pensiun 70 tahun.
Ketentuan mengenai masa jabatan dalam UU 7/2020, menurut penulis, merupakan ketentuan ideal untuk saat ini. Hakim konstitusi memiliki jaminan masa jabatan (security of tenure) yang lebih baik dibandingkan aturan sebelumnya yang menggunakan model periodesasi masa jabatan.
Dalam model periodesasi, hakim konstitusi cenderung akan mengambil putusan yang lebih menguntungkan lembaga pengusulnya dengan tujuan dapat terpilih kembali untuk periode selanjutnya.
Berdasarkan draf revisi UU MK yang telah tersebar di publik, ketentuan mengenai masa jabatan hakim konstitusi kembali jadi salah satu materi muatan yang diubah.
Aturan mengenai masa jabatan hakim konstitusi diatur dalam Pasal 23A yang menyatakan bahwa masa jabatan hakim konstitusi selama 10 (sepuluh) tahun.
Ayat selanjutnya juga mengatur mengenai evaluasi hakim konstitusi. Hakim konstitusi yang telah menjabat selama 5 (lima) tahun dikembalikan ke lembaga pengusul untuk mendapatkan persetujuan atau tidak mendapatkan persetujuan untuk melanjutkan jabatannya.
Perubahan tersebut merupakan suatu kemunduran (backsliding) bagi upaya memperkuat independensi peradilan.
Aturan tersebut akan menciptakan situasi dilematis bagi para hakim konstitusi, antara memutus berdasarkan hukum dan keadilan atau memutus berdasarkan preferensi kepentingan lembaga pengusul agar terpilih kembali dan dapat melanjutkan sisa masa jabatannya.