Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
M Fariz Al Qindi
Mahasiswa

Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan Universitas Gadjah Mada

Revisi UU MK: Upaya Kocok Ulang Hakim Konstitusi

Kompas.com - 28/05/2024, 05:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

LAYAKNYA sinetron, drama mengenai Mahkamah Konstitusi (MK) seperti tidak pernah selesai. Setelah mendapat sorotan tajam dalam beberapa waktu terakhir, khususnya sebelum dan sesudah Pemilu 2024 dilaksanakan, kini MK kembali menjadi fokus perhatian publik.

Untuk kali ini bukan karena putusan kontroversial, tetapi karena adanya revisi Undang-undang MK yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang.

Revisi tersebut mengandung beberapa persoalan fundamental dalam aspek formil prosedural maupun aspek materiil substansi muatan pasal yang diubah.

Dalam aspek formil, misalnya, pembahasan tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna dan pengambilan persetujuan tingkat pertama terkesan dilakukan secara ‘diam-diam’.

Faktanya ada beberapa anggota Komisi III DPR yang tidak mengetahui agenda tersebut. Ditambah lagi pengambilan persetujuan dilakukan pada saat DPR sedang menjalani masa reses.

Sedangkan dalam aspek materiil, materi muatan hanya berkutat pada persoalan mengenai masa jabatan hakim konstitusi, yang sebenarnya sarat kepentingan politik penguasa untuk mengontrol para hakim konstitusi.

Masa jabatan hakim

Perubahan masa jabatan hakim konstitusi sebenarnya bukan terjadi kali ini. Sejak diundangkannya UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, percobaan untuk mengotak-atik masa jabatan hakim konstitusi selalu dilakukan.

Terakhir, melalui UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga UU MK, pembentuk UU mengubah masa jabatan dari yang awalnya 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya (model periodesasi) menjadi maksimal 15 (lima belas) tahun sejak diangkat pada usia 55 tahun hingga usia pensiun 70 tahun.

Ketentuan mengenai masa jabatan dalam UU 7/2020, menurut penulis, merupakan ketentuan ideal untuk saat ini. Hakim konstitusi memiliki jaminan masa jabatan (security of tenure) yang lebih baik dibandingkan aturan sebelumnya yang menggunakan model periodesasi masa jabatan.

Dalam model periodesasi, hakim konstitusi cenderung akan mengambil putusan yang lebih menguntungkan lembaga pengusulnya dengan tujuan dapat terpilih kembali untuk periode selanjutnya.

Berdasarkan draf revisi UU MK yang telah tersebar di publik, ketentuan mengenai masa jabatan hakim konstitusi kembali jadi salah satu materi muatan yang diubah.

Aturan mengenai masa jabatan hakim konstitusi diatur dalam Pasal 23A yang menyatakan bahwa masa jabatan hakim konstitusi selama 10 (sepuluh) tahun.

Ayat selanjutnya juga mengatur mengenai evaluasi hakim konstitusi. Hakim konstitusi yang telah menjabat selama 5 (lima) tahun dikembalikan ke lembaga pengusul untuk mendapatkan persetujuan atau tidak mendapatkan persetujuan untuk melanjutkan jabatannya.

Perubahan tersebut merupakan suatu kemunduran (backsliding) bagi upaya memperkuat independensi peradilan.

Aturan tersebut akan menciptakan situasi dilematis bagi para hakim konstitusi, antara memutus berdasarkan hukum dan keadilan atau memutus berdasarkan preferensi kepentingan lembaga pengusul agar terpilih kembali dan dapat melanjutkan sisa masa jabatannya.

Dalam pandangan Lawrance Baum, jaminan masa jabatan yang dapat diperpanjang melalui lembaga yang sama dapat memungkinkan adanya transaksi politik yang lebih pragmatis. Dengan keadaan seperti itu, sangat dimungkinkan independensi peradilan akan tercederai.

Idealnya, UU MK harus memberikan jaminan masa jabatan yang pasti bagi hakim konstitusi, agar hakim konstitusi dapat memutuskan suatu perkara berdasarkan hukum dan keadilan, dan bukan karena preferensi kepentingan lembaga pengusulnya.

Kocok ulang Hakim Konstitusi

Selain Pasal 23A yang mengatur mengenai masa jabatan dan evaluasi hakim konstitusi, ketentuan lain yang dianggap problematik ialah mengenai aturan peralihan.

Hal tersebut diatur dalam Pasal 87 yang pada intinya mengatur perlunya persetujuan oleh lembaga pengusul bagi hakim konstitusi yang telah menjabat lebih dari 5 (lima) tahun dan kurang dari 10 (sepuluh) tahun, serta hakim konstitusi yang telah menjabat lebih dari 10 (sepuluh) tahun untuk melanjutkan sisa masa jabatannya hingga usia 70 (tujuh puluh) tahun.

Dari ketentuan tersebut, terdapat 5 (lima) hakim konstitusi existing yang akan terdampak, yaitu Enny Nurbangingsih, Saldi Isra, Suhartoyo, Arief Hidayat, dan Anwar Usman.

Masing-masing dari kelima hakim konstitusi tersebut harus mendapat persetujuan dari lembaga pengusulnya apabila ingin melanjutkan sisa masa jabatan yang tersisa.

Menurut penulis, adanya aturan peralihan tersebut hanya merupakan akal-akalan dari pembentuk undang-undang, dalam hal ini DPR dan Pemerintah.

Momen revisi UU MK dimanfaatkan oleh pembentuk UU untuk mengocok ulang komposisi hakim konstitusi.

Terlebih lagi, dari kelima hakim konstitusi terdampak, tiga di antaranya (Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, dan Arief Hidayat) merupakan hakim konstitusi yang dalam beberapa putusan terakhir, termasuk putusan tentang syarat minimal usia capres/cawapres dan putusan sengketa hasil pilpres 2024 mengambil sikap berbeda (dissenting opinion) atau dalam kata lain memiliki pandangan progresif yang tentunya dianggap ancaman bagi pemerintah untuk kedepannya.

Dalam sejarah ketatanegaraan, praktik kocok ulang hakim juga pernah terjadi pada Mahkamah Agung (Supreme Court) Amerika Serikat. Fenomena tersebut dalam perkembangannya lebih sering dikenal sebagai “Court Packing Bill”.

Pada intinya, pada saat itu ada upaya untuk menambah jumlah hakim agung dari awalnya 9 (sembilan) menjadi 15 (lima belas) orang.

Hal tersebut karena terlalu seringnya Supreme Court AS mengeluarkan putusan yang tidak menguntungkan bagi pemerintahan yang saat itu sedang berkuasa.

Revisi UU MK ini oleh beberapa ahli dianggap sebagai “Court Packing Bill” model Indonesia. Apa yang terjadi melalui revisi UU MK memang tidak sama persis dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat.

Revisi UU MK tidak menambah jumlah komposisi hakim konstitusi, tetapi lebih condong kepada mengganti hakim-hakim yang tidak memiliki preferensi kepentingan yang sama oleh penguasa.

Mencermati lebih jauh, tujuan dari dilakukannya court packing, baik dengan menambah atau mengganti komposisi hakim, bermuara pada tujuan besar, yaitu menempatkan lembaga peradilan dalam hal ini Mahkamah Konstitusi di bawah kendali pemerintah.

Berharap pada MK

Apabila mencermati proses politik yang ada di parlemen, hampir bisa dipastikan DPR akan mengesahkan RUU Perubahan Keempat UU MK menjadi undang-undang dalam rapat paripurna terdekat.

Apabila terjadi demikian, maka dapat dipastikan pula persoalan mengenai konstitusionalitas revisi undang-undang ini akan berakhir di tangan MK.

Lagi dan lagi, untuk kesekian kalinya publik kembali menaruh harapan besar kepada MK. Meskipun tak selalu berakhir sesuai dengan harapan publik, rasanya kita tak pernah benar-benar berhenti berharap kepada gerbong terakhir penjaga konstitusi ini.

Ibarat peribahasa, para hakim konstitusi tidak boleh ‘layu sebelum berkembang’. Hakim konstitusi tidak boleh bersikap pasrah dengan mengeluarkan putusan yang sejalan dengan keinginan pemerintah agar mendapat perpanjangan masa jabatan.

Biasanya, dalam pengujian UU MK khususnya berkaitan dengan masa jabatan hakim konstitusi, MK selalu dihadapkan dengan asas “Nemo Judex In Causa Sua” yang tidak membenarkan MK untuk menguji persoalan yang menyangkut dirinya sendiri.

Dalam konteks kali ini, MK harus sadar bahwa revisi undang-undang a quo telah secara nyata merobohkan bangunan prinsip negara hukum dan demokrasi, sehingga MK harus berani menciptakan suatu terobosan hukum (rule breaking) sebagai upaya untuk memastikan bahwa kekuasaan tetap dijalankan dalam koridor konstitusi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 30 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 30 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Pakar Sebut Penyitaan Aset Judi Online Bisa Lebih Mudah jika Ada UU Perampasan Aset

Pakar Sebut Penyitaan Aset Judi Online Bisa Lebih Mudah jika Ada UU Perampasan Aset

Nasional
Eks Pejabat Kemenkes Sebut Harga APD Covid-19 Ditentukan BNPB

Eks Pejabat Kemenkes Sebut Harga APD Covid-19 Ditentukan BNPB

Nasional
Transaksi Judi 'Online' Meningkat, Kuartal I 2024 Tembus Rp 101 Triliun

Transaksi Judi "Online" Meningkat, Kuartal I 2024 Tembus Rp 101 Triliun

Nasional
Hari Ini, Gaspol Ft Sudirman Said: Pisah Jalan, Siap Jadi Penantang Anies

Hari Ini, Gaspol Ft Sudirman Said: Pisah Jalan, Siap Jadi Penantang Anies

Nasional
Habiburokhman: Judi 'Online' Meresahkan, Hampir Tiap Institusi Negara Jadi Pemainnya

Habiburokhman: Judi "Online" Meresahkan, Hampir Tiap Institusi Negara Jadi Pemainnya

Nasional
Baru 5 dari 282 Layanan Publik Pulih Usai PDN Diretas

Baru 5 dari 282 Layanan Publik Pulih Usai PDN Diretas

Nasional
Penerbangan Garuda Indonesia Tertunda 12 Jam, Jemaah Haji Kecewa

Penerbangan Garuda Indonesia Tertunda 12 Jam, Jemaah Haji Kecewa

Nasional
Perdalam Pengoperasian Jet Tempur Rafale, KSAU Kunjungi Pabrik Dassault Aviation

Perdalam Pengoperasian Jet Tempur Rafale, KSAU Kunjungi Pabrik Dassault Aviation

Nasional
Cek Harga di Pasar Pata Kalteng, Jokowi: Harga Sama, Malah di Sini Lebih Murah

Cek Harga di Pasar Pata Kalteng, Jokowi: Harga Sama, Malah di Sini Lebih Murah

Nasional
Kasus Korupsi Pengadaan Lahan JTTS, KPK Sita 54 Bidang Tanah dan Periksa Sejumlah Saksi

Kasus Korupsi Pengadaan Lahan JTTS, KPK Sita 54 Bidang Tanah dan Periksa Sejumlah Saksi

Nasional
Jokowi Klaim Program Bantuan Pompa Sudah Mampu Menambah Hasil Panen Padi

Jokowi Klaim Program Bantuan Pompa Sudah Mampu Menambah Hasil Panen Padi

Nasional
Soal Izin Usaha Tambang Ormas Keagamaan, Pimpinan Komisi VII Ingatkan Prinsip Kehati-hatian dan Kepatutan

Soal Izin Usaha Tambang Ormas Keagamaan, Pimpinan Komisi VII Ingatkan Prinsip Kehati-hatian dan Kepatutan

Nasional
Jokowi Pastikan Beras Bansos Berkualitas Premium, Tak Berwarna Kuning dan Hitam

Jokowi Pastikan Beras Bansos Berkualitas Premium, Tak Berwarna Kuning dan Hitam

Nasional
Minta Pemerintah Tetapkan Jadwal Pelantikan Kepala Daerah, Ketua KPU: Kalau Tak Ada, Bakal Repot

Minta Pemerintah Tetapkan Jadwal Pelantikan Kepala Daerah, Ketua KPU: Kalau Tak Ada, Bakal Repot

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com