JAKARTA, KOMPAS.com - Usulan supaya Hakim Konstitusi meminta restu kembali kepada lembaga mengusungnya setelah menjabat selama 5 tahun, dalam revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dianggap sebagai konyol dan kental dengan nuansa politis.
"Itu kan lucu. Bagaimana bisa kemudian proses persetujuan itu dilakukan, dan jelas di sana kepentingan sangat politis. Bagaimana DPR bisa mengendalikan MK," kata Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, dikutip dari program Obrolan Newsroom di Kompas.com, Selasa (14/5/2024) kemarin.
Lucius menyampaikan, usulan supaya para hakim konstitusi meminta restu dari lembaga yang mengusulkan setiap 5 tahun merupakan gagasan yang tidak masuk akal dan terkesan hanya ingin membuat MK tunduk dengan kepentingan elite politik.
"Memang sepragmatis itu tujuan revisi undang-undang ini kalau kita lihat pasal-pasal yang diubah oleh DPR ya," ucap Lucius.
Baca juga: Diam-diam Revisi UU MK, DPR Dianggap Kucing-kucingan
"Bagaimana menertibkan hakim konstitusi yang ada sekarang ini dan memastikan mereka tidak boleh terlepas dari lembaga mana yang mengusulkan," sambung Lucius.
Lucius menganggap revisi UU MK sama saja membuat lembaga itu kehilangan kewenangan dan kewibawaan sehingga sebaiknya tidak perlu dilanjutkan.
"Kenapa kemudian DPR ini enggak membubarkan saja atau apa gitu ya. Lebih ekstrem saja sih. Daripada mempertahankan sebuah lembaga tapi pada saat yang sama mereka ingin mengamputasi semua kewibawaan, kewenangan lembaga itu," papar Lucius.
Sebagaimana diberitakan, keputusan membawa Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK ke paripurna dilakukan dalam rapat Komisi III dengan Pemerintah pada 13 Mei 2025.
Baca juga: DPR Berpotensi Langgar Prosedur soal Revisi UU MK
Menariknya, rapat tersebut yang dihadiri Menteri Koordinator Politik Hukum dan, Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly sebagai wakil pemerintah itu dilakukan pada masa reses DPR.
Kemudian, dalam naskah terakhir revisi UU MK yang diterima Kompas.com, diselipkan Pasal 23A terkait masa jabatan hakim konstitusi.
Dalam ayat (1) disebutkan bahwa masa jabatan hakim konstitusi adalam 10 tahun.
Aturan masa jabatan ini berubah dari Pasal 22 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK yang menyebutkan masa jabatan hakim konstitusi selama lima tahun. Namun, Pasal 22 tersebut dihapus dalam revisi pertama UU MK, tepatnya di UU Nomor 8 Tahun 2011 terhadap UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.
Baca juga: Revisi UU MK Dinilai Cenderung Jadi Alat Sandera Kepentingan, Misalnya Menambah Kementerian
Dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d UU Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK disebutkan bahwa calon hakim MK harus berusia paling rendah 55 tahun Kemudian, Pasal 23 ayat (1) huruf c UU MK hasil revisi ketiga menyebutkan bahwa hakim konstitusi diiberhentikan dengan hormat dengan alasan telah berusia 70 tahun.
Selanjutnya, Pasal 87 huruf b UU MK hasil revisi ketiga itu menyebutkan bahwa hakim konstitusi mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.