Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hakim Arief Hidayat Sebut Pemilu 2024 Berbeda, Ada Intervensi Kuat dari Kekuasaan

Kompas.com - 22/04/2024, 15:43 WIB
Ardito Ramadhan,
Novianti Setuningsih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyatakan, penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 amat berbeda dibandingkan Pemilu 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019 yang dilaksanakan setelah Orde Baru runtuh.

Sebab, menurut Arief, baru kali ini ada dugaan intervensi kuat dari kekuasaan eksekutif yang jelas-jelas mendukung kandidat tertentu.

"Perbedaan ini terletak pada adanya dugaan intervensi kuat dari sentral cabang kekuasaan eksekutif yang cenderung dan secara jelas mendukung calon tertentu dengan segenap infrastruktur politiknya," kata Arief Hidayat dalam sidang putusan sengketa hasil Pilpres 2024, Senin (22/4/2024).

Hal ini disampaikan Arief saat membacakan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam sidang putusan tersebut.

Baca juga: Dissenting Opinion, Arief Hidayat: Presiden Seolah Coba Suburkan Politik Dinasti dan Virus Nepotisme

Arief berpandangan, sikap presiden dan aparaturnya yang tidak netral dan mendukung kandidat tertentu telah menyebabkan kegaduhan dan hiruk pikuk.

"Apa yang dilakukan Presiden seolah mencoba menyuburkan spirit politik dinasti yang dibungkus oleh virus nepotisme sempit dan berpotensi mengancam tata nilai demokrasi ke depan," kata Arief.

Dia juga mengatakan, anggapan bahwa presiden boleh berkampanye juga merupakan justifikasi yang tidak dapat diterima oleh nalar yang sehat dan etika yang peka.

Arief mengakui bahwa Undang-Undang Pemilu memang membolehkan presiden berkampanye tapi dalam cakupan terbatas, yakni ketika mencalonkan diri dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden untuk kali kedua.

"Artinya, presiden boleh berkampanye ketika posisinya adalah sebagaï pasangan calon presiden dan bukan berkampanye untuk mempromosikan pasangan calon presiden tertentu ataupun yang didukungnya," ujarnya.

Baca juga: Hakim Arief Hidayat: Jangan-jangan Demokrasi Kita Mengarah pada Titik Defisit

Oleh sebab itu, menurut Arief, MK semestinnya tidak menangani sengketa hasil Pilpres 2024 melalui pendekatan yang formal, legalistik, dan dogmatis yang hanya menghasilkan rumusan hukum yang rigid, kaku, dan bersifat prosedural.

"Melainkan perlu berhukum secara informal-nonlegalistik-ekstensif yang menghasilkan rumusan hukum yang progresif, solutif, dan substantif tatkala melihat adanya pelanggaran terhadap asas-asas pemilu yang langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil," kata Arief.

Diberitakan sebelumnya, MK memutuskan menolak permohonan sengketa hasil Pilpres 2024 yang diajukan oleh Anies-Muhaimin.

“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim MK Suhartoyo.

Ada sejumlah alasan yang mendasari MK menolak gugatan Anies-Muhaimin.

Pada pokoknya, gugatan pasangan mantan Gubernur DKI Jakarta dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu dianggap tidak beralasan menurut hukum.

Baca juga: MK Tolak Permohonan Sengketa Pilpres Anies-Muhaimin

Halaman:
Baca tentang


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com