JAKARTA, KOMPAS.com - Penyaluran bantuan sosial (bansos) hingga peran Presiden Joko Widodo disorot dalam sidang sengketa pemilihan presiden (Pilpres) di Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (1/4/2024) kemarin.
Sidang itu beragendakan mendengarkan keterangan para saksi dan ahli dari kubu pasangan calon (paslon) nomor urut 1, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar.
Penyaluran bansos menjelang hari pemungutan suara pada 14 Februari 2024 lalu bahkan membuat Mahkamah memutuskan untuk memanggil empat menteri terkait untuk memberikan keterangan pada Jumat (5/4/2024).
Keempat menteri tersebut, adalah Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, dan Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini.
Mereka pun tidak bisa diwakili untuk memberikan keterangan dalam sidang sengketa Pilpres kali ini.
"Jumat akan dicadangkan untuk pemanggilan pihak-pihak yang dipandang perlu oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan hasil rapat Yang Mulia Para Hakim tadi pagi," kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang sengketa Pilpres, Senin.
Baca juga: Soal 4 Menteri Dipanggil MK, Stafsus Presiden: Tidak Perlu Minta Izin Jokowi
Sejumlah ahli ekonomi yang didatangkan kubu 01 mengungkap bahwa politisasi bansos berpengaruh pada perolehan suara.
Salah satu saksi ahli yang merupakan ekonom Universitas Indonesia (UI), Vid Adrison menyebutkan bahwa terdapat hubungan positif antara penyaluran bansos yang notabene meningkat setahun menjelang Pemilu dengan persentase perolehan suara petahana atau kandidat yang didukung petahana.
Pada tahun lalu misalnya, belanja pelindungan sosial naik dari 10,04 persen pada 2022 menjadi 14,56 persen pada tahun 2023. Peningkatan belanja itu, menurut Vid, akan menguat ketika yang mengikuti kontestasi Pilpres adalah petahana.
Vid menyebut penyaluran bansos ini sebagai political budget cycles yang umum terjadi di sejumlah negara.
Namun, efeknya (magnitude) akan jauh lebih besar ketika bansos digunakan di negara berkembang.
Baca juga: Ahli: Pj Kepala Daerah Lakukan Segala Cara Dukung Paslon Jagoan Presiden
Hal ini dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, tingkat pengangguran, hingga tingkat kemiskinan suatu negara.
Vid mengatakan, saat negara sudah maju, masyarakat dapat melihat dan menimbang-nimbang implikasi kehidupannya ke depan dari pilihannya saat Pemilu.
Berdasarkan data yang dipaparkan Vid, pemberian bansos akan meningkatkan margin kandidat petahana atau yang didukung petahana sebesar 6,29-9 persen di provinsi dengan tingkat kemiskinan 10 persen.
Sebagai catatan, margin perolehan suara tersebut belum memperhitungkan dampak bansos ad hoc tahun 2024, seperti bantuan pangan beras hingga BLT El Nino, melainkan hanya bansos rutin yang digulirkan pemerintah.
"Ternyata, kesimpulan besarnya adalah petahana atau kandidat yang didukung oleh petahana akan mendapatkan persentase suara yang lebih tinggi, dan persentase dengan suara pemenang lebih tinggi di daerah dengan kemiskinan yang lebih tinggi," kata Vid di sidang MK, Senin.
Baca juga: Ahli Sebut Para Pakar Sudah Wanti-wanti soal Pj Kepala Daerah, tapi Jokowi Tak Peduli
Lebih lanjut, Vid mengatakan, keefektifan bansos untuk mendulang suara terjadi lantaran beberapa hal.
Pertama, bansos bisa diklaim dari hasil kebijakan pemerintah. Masyarakat tidak bisa menyangkal bahwa bansos tersebut dari pemerintah, bukan atas pihak yang lain.
Kedua, bansos merupakan kebijakan bertarget (targeted) yang menargetkan masyarakat miskin sebagai penerima.