JAKARTA, KOMPAS.com - Tim Hukum Nasional (THN) pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) nomor urut 1, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, meyakini bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) bakal membatalkan hasil pemilu yang dalam prosesnya disertai penyalahgunaan kewenangan Presiden dan penyelenggara pemilihan.
Hal ini diungkap oleh anggota THN Anies-Muhaimin, Bambang Widjojanto, di hadapan Majelis Hakim Konstitusi (MK) dalam sidang perdana sengketa hasil Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 yang digelar di Gedung MK, Jakarta, Rabu (27/3/2024).
“Mahkamah Konstitusi dipastikan akan membatalkan hasil proses pemilihan yang didapatkan dari penyalahgunaan kewenangan presiden, kekuasaan dan penyelenggara pemilu, serta pelanggaran kecurangan yang berat dan akut dalam proses penyelenggaraan pemilu dan pilpres,” kata Bambang.
Mengutip pertimbangan hukum yang dituangkan MK dalam Putusan Nomor 55 Tahun 2019 dan Putusan Nomor 85 Tahun 2022, kata Bambang, tidak lagi ada sekat yang membedakan antara perselisihan hasil pemilu dengan perselisihan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Pada dasarnya, praktik beracara di MK dan Mahkamah Agung serta di negara-negara di dunia mempunyai dasar fundamental yang paradigmatik sama. MK, menurut Bambang, mempunyai otoritas untuk menegakkan keadilan, bukan sekadar penegakan hukum.
Baca juga: Di Sidang MK, Kubu Anies Tuding Jokowi Jalankan 3 Agenda untuk Langgengkan Kekuasaan
“Menegakkan hak konstitusional dan hak asasi manusia (HAM), serta menjamin dilakukannya safe guard of democracy (pengawal demokrasi), bukan sekedar sengketa hasil suara,” ujar Bambang.
Bambang mengatakan, argumen ini dapat dikonfirmasi dari putusan MK di sejumlah negara di dunia terkait pemilu.
Mahkamah Konstitusi Austria, misalnya, pada tahun 2016 membatalkan terpilihnya Alexander Van Der Bellen sebagai presiden. Sebab, ia terbukti melakukan kecurangan dengan melakukan pengiriman surat melalui pos sehingga terjadi manipulasi yang tinggi.
Kedua, Mahkamah Agung Kenya pada tahun 2017 menganulir kemenangan presiden petahana, Uhuru Kenyatta, lantaran pemerintah pusat terbukti mematikan listrik di basis pendukung Odinga pada hari pemungutan suara.
Ada pula Mahkamah Agung Maladewa yang membatalkan hasil Pemilu 2013 karena ada 5.623 orang yang tidak memiliki hak pilih tetapi tetap dimasukkan dalam daftar pemilih. Mereka, di antaranya, orang yang sudah meninggal, pemilih di bawah umur, dan pemilih yang menggunakan identitas palsu.
Contoh lainnya, Mahkamah Agung Ukraina yang pada tahun 2004 memutus diadakannya pemilu ulang karena pemerintah Ukraina terbukti melakukan intervensi dalam proses pemilu.
Bambang menyebut, pihaknya meminta MK membatalkan hasil Pilpres 2024 karena menemukan indikasi pelanggaran.
“Alasan permohonan pembatalan hasil pemilihan disampaikan atas dasar terjadinya rangkaian pelanggaran terukur dan pelanggaran-pelanggaran yang secara kualitatif menguntungkan pasangan calon 02 (Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka), namun sebaliknya, merugikan pemohon (Anies-Muhaimim),” katanya.
Menurut THN Anies-Muhaimin, sedikitnya terdapat lima indikator dugaan pelanggaran proses Pemilu 2024. Pertama, pelibatan lembaga kepresidenan, dalam hal ini dukungan Presiden Joko Widodo ke Prabowo-Gibran.
Lalu, pelumpuhan independensi penyelenggara pemilu dan manipulasi aturan persyaratan pencalonan. Selanjutnya, pengerahan aparatur negara, serta penggunan anggaran negara untuk bantuan sosial (bansos) yang disalahgunakan untuk menggerakkan mesin pemenangan Prabowo-Gibran.