JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Juru Bicara Timnas Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Maman Imanulhaq mengatakan semua pihak sudah melihat bahwa kualitas demokrasi di Pilpres 2024 sangat buruk.
Menurutnya, pemerhati internasional seperti Komite Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun sudah mencium buruknya demokrasi di Indonesia.
Adapun Maman merespons anggota Komite HAM PBB yang menyoroti netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Pilpres 2024.
Baca juga: Anggota Komite HAM PBB Soroti Netralitas Jokowi di Pilpres, Singgung Putusan MK
"Saya rasa semua pihak melihat bahwa kualitas demokrasi di pilpres atau Pileg 2024 ini sangat buruk. Dan itu ternyata bisa dirasakan. Apalagi saya sendiri sebagai orang yang jadi caleg dan juga menjadi koordinator juru bicaranya Anies-Muhaimin merasakan itu semua," ujar Maman saat ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (18/3/2024).
"Dan itu pasti terbaca, tercium oleh pemerhati internasional termasuk dewan HAM, seperti itu," sambungnya.
Menurut Maman, sorotan dari Komite HAM PBB tersebut menjadi catatan bagi Indonesia bahwa produk demokrasi yang dihasilkan di Pemilu 2024 menjadi produk yang memang tidak terlalu bagus.
Baca juga: Daftar Pembantu Jokowi yang Terancam Gagal Lolos Parlemen
Dia mengingatkan bahwa catatan seperti itu akan membahayakan bagi Indonesia ke depan.
"Tetapi kita tetap hormati kritik-kritik itu, tapi juga kita hormati proses yang terjadi di mana nanti 20 Maret KPU akan mengumumkan siapa pemenang di pilpres, siapa juga yang lolos untuk jadi anggota legislatif," imbuh Maman.
Sebelumnya, anggota Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau CCPR Bacre Waly Ndiaye menyoroti netralitas Presiden Joko Widodo dalam Pemilihan Presiden tahun 2024. Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau CCPR Bacre Waly Ndiaye menyoroti netralitas Presiden Joko Widodo dalam Pemilihan Presiden tahun 2024.
Ia mengutarakan soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melanggengkan jalan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, mengikuti kontestasi pilpres.
Putusan yang dimaksud adalah putusan pada perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
MK memutuskan mengabulkan sebagian putusan tersebut.
Baca juga: Jokowi Setujui Penambahan 14 Proyek Strategis Nasional Baru, Ini Daftarnya
Ndiaye menyebut, kampanye calon presiden dan calon wakil presiden terjadi usai putusan tersebut keluar.
"Kampanye terjadi setelah keputusan pengadilan pada menit-menit terakhir yang mengubah kriteria kelayakan yang memungkinkan putra presiden untuk ikut serta dalam Pemilu," kata Ndiaye dalam Sidang Komite HAM PBB CCPR di Jenewa, Swiss pekan lalu, dikutip dari UN Web TV, Senin (18/3/2024).
Ndiaye lantas mempertanyakan langkah apa yang diambil Indonesia untuk memastikan pejabat tinggi, termasuk Jokowi, tidak memberikan pengaruh atau intervensi yang berlebihan terhadap proses Pemilu.
Ia pun bertanya apakah Indonesia sudah melakukan penyelidikan untuk mengusut dugaan-dugaan itu.
Baca juga: Netralitas Jokowi di Pilpres 2024 Disorot Komite HAM PBB, Kubu Prabowo: Berlebihan
"Langkah-langkah apa yang diterapkan untuk memastikan bahwa pejabat tinggi termasuk presiden dicegah untuk memberikan pengaruh yang berlebihan terhadap proses Pemilu," bebernya.
Saat diberikan kesempatan, Indonesia yang diwakili oleh Dirjen Kerjasama Multilateral Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Tri Tharyat tidak menjawab pertanyaan Ndiaye.
Ia justru menjawab masalah Hak Asasi Manusia (HAM) lainnya, seperti soal kasus aktivis Haris dan Fathia yang belum lama dinyatakan bebas hingga kasus Panji Gumilang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.