JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar politik Ikrar Nusa Bhakti menilai, usulan Presiden Joko Widodo menjadi ketua koalisi partai politik tak perlu direalisasi.
Ia khawatir, gagasan tersebut justru akan melahirkan “matahari kembar” yang menghadap-hadapkan dua kekuatan, yakni antara pimpinan koalisi dan presiden yang memimpin.
“Janganlah kita menghadirkan atau melahirkan situasi yang sangat pelik dalam politik atau yang disebut dengan matahari kembar,” kata Ikrar dalam program Kompas Petang Kompas TV, Senin (11/3/2024).
Setelah meletakan jabatannya sebagai presiden pada Oktober 2024, menurut Ikrar, Jokowi bisa saja memberi masukan ke presiden yang baru.
Namun, dia menilai, mantan kepala negara tak perlu cawe-cawe terlalu dalam atau bahkan diberikan posisi yang legal di pemerintahan baru. Hal itu justru dinilai bakal menyulitkan pemerintahan ke depan.
Baca juga: Pakar Sebut Usulan Jokowi Jadi Ketua Koalisi Keliru, Tak Ada di Sistem Presidensial
“Biar bagaimanapun yang namanya mantan presiden itu sebaiknya janganlah kemudian cawe-cawe lagi,” ujar Ikrar.
“Tidak perlu bangun suatu sistem baru, ada ketua koalisi, atau kemudian nanti ada istilahnya koordinator menko-lah, atau posisi posisi lain yang kemudian menempatkan Jokowi pada posisi yang dalam, lebih tinggi dibandingkan dengan presiden terpilih itu sendiri, itu sangat tidak enak,” lanjutnya.
Sebagai negara yang menganut sistem presidensial, kata dia, presiden tetap memegang jabatan tertinggi sebagai pimpinan pemerintahan.
“Kalau tadi dikatakan bahwa yang terpilih adalah Prabowo dan Gibran sebagai presiden dan wakil presiden, ya kita harus menghormatilah siapa yang kemudian terpilih dan biarlah kemudian Pak Prabowo yang nanti akan membangun koalisinya,” katanya.
Lagi pula, Ikrar menyebut, tidak tepat jika Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensial memiliki ketua koalisi partai politik. Sebab, ketua koalisi hanya dikenal di negara dengan sistem pemerintahan parlementer.
Ikrar mencontohkan sistem pemerintahan parlementer di Malaysia. Usai pemilu, di Malaysia akan dibentuk koalisi, berikut pimpinan dan wakil pimpinannya, bergantung dari partai yang paling banyak mendapatkan suara dan kursi di parlemen.
Sementara, di Indonesia, koalisi partai politik merujuk pada kerja sama antarpartai ketika pemilu. Dalam sistem pemerintahan presidensial, keberadaan parlemen atau legislatif menjadi pengawas bagi pemerintahan atau eksekutif.
“Mereka yang tidak ada dalam pemerintahan juga penting sebagai penengah ataupun penyeimbang dari kekuatan yang ada di pemerintahan. Dan ini sudah terjadi pada eranya Pak SBY, ini terjadi pula di eranya Pak Jokowi,” tandas Ikrar.
Sebelumnya diberitakan, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie menyatakan, Presiden Jokowi semestinya menjadi sosok yang berada di atas semua partai politik.
Grace mengungkapkan, ada usul dari Ketua Dewan Pembina PSI Jeffrie Geovannie agar Jokowi dapat memimpin koalisi partai politik yang punya kesamaan visi menuju Indonesia emas.
Baca juga: PSI Usul Jokowi Jadi Ketua Koalisi, Golkar Sebut Harus Persetujuan Prabowo