SOLO, KOMPAS.com - Budayawan dan seniman Butet Kartaredjasa dan anak Wiji Thukul, Fitri Nganthi Wani kompak membacakan puisi soal kebebasan berbicara di acara kampanye akbar bertajuk "Hajatan Rakyat Ganjar-Mahfud" di Benteng Vastenburg, Solo, Jawa Tengah, Sabtu (10/2/2024).
Adapun puisi yang dibawakan adalah puisi Wiji Thukul, yaitu salah satu penyair dan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang dihilangkan secara paksa.
Sebelum membaca puisi, awalnya Butet memanggil Wani ke atas panggung. Lalu, Wani diminta menceritakan sosok sang ayah yang menjadi korban penghilangan paksa dan tidak diketahui keberadaannya hingga kini.
"Wani, ini sedulur-sedulur-mu kabeh, energi untuk hidupmu. Meskipun sebelum umurmu lima tahun sudah ditinggalkan ayahmu yang sampai hari ini tidak jelas nasibnya," kata Butet di atas panggung utama acara kampanye akbar, Sabtu.
"Coba kamu sampaikan ke kawan-kawanmu, energi hidupmu ini, apa kesan terhadap ayahmu, Wiji Thukul," ujarnya lagi.
Baca juga: Butet Singgung Penculikan Wiji Thukul di Kampanye Akbar Ganjar-Mahfud: Yang Menculik Mencapreskan
Wani menyampaikan bahwa ayahnya hilang sejak dia masih kecil. Tetapi, pada tahun 2014 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berjanji akan mengusut kasus tersebut.
Namun, hingga ibunya Siti Dyah Sujirah (Sipon) meninggal dunia, nasib dan keberadaan Wiji Thukul tak kunjung diketahui.
"Sampai sekarang kami masih mengingat janji yang pernah diucapkan oleh Bapak Presiden Jokowi perihal Wiji Thukul. (Jokowi bilang) 'Wiji Thukul harus ketemu, kasus ini harus bisa selesai, Wiji Thukul harus bisa ditemukan'," kata Wani.
"Beliau (Jokowi) berkata, 'Istrinya adalah kawan baik saya, anak-anaknya adalah kawan baik saya. Dan tentu saja kasus Wiji Thukul harus diselesaikan, Wiji Thukul harus ketemu hidup atau mati'," ujarnya lagi.
Baca juga: Anak Wiji Thukul Hadiri Hajatan Rakyat Ganjar-Mahfud di Solo, Bacakan Puisi Peringatan
Kemudian, Butet Kartaredjasa mempersilakan Wani membacakan puisi sang ayah. Tak beberapa lama usai dipersilakan, dia membaca beberapa bait puisi tersebut.
"Peringatan. Jika rakyat pergi, ketika penguasa pidato, kita harus hati-hati, barangkali mereka putus asa. Kalau rakyat bersembunyi dan berbisik-bisik ketika membicarakan masalahnya sendiri, penguasa harus waspada dan belajar mendengar," kata Wani membacakan puisi.
"Bila rakyat tak berani mengeluh, itu artinya sudah gawat. Dan bila omongan penguasa dibantah, kebenaran pasti terancam. Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata...," lanjutnya.
"Lawan!" teriak massa yang hadir.
Baca juga: Ajak Warga Solo Menangkan Ganjar-Mahfud, Megawati: Satu Putaran Sanggup?
Usai Wani membacakan puisi, Butet Kartaredjasa melanjutkan pembacaan puisi karya Wiji Thukul yang lain.
"Sesungguhnya suara itu tak bisa diredam. Mulut bisa dibungkam, namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang dan pertanyaan-pertanyaan dari tidah jiwaku? Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan, di sana bersemayam kemerdekaan," kata Butet saat membacakan puisi.
"Apabila engkau memaksa diam, aku siapkan untukmu pemberontakan. Sesungguhnya suara itu bukan perampok yang ingin merayah hartamu. Ia ingin bicara mengapa kau kokang senjata dan gemetar ketika suara-suara itu menuntut keadilan?" lanjutnya.
"Sesungguhnya suara itu akan menjadi kata. Ia lah yang mengajari aku bertanya dan pada akhirnya tidak bisa tidak engkau harus menjawabnya. Apabila engkau tetap bertahan, aku akan memburumu seperti kutukan," kata Butet Kartaredjasa.
Baca juga: Ketum Projo Budi Arie Sebut Jokowi Minta Laporan terhadap Butet Kartaredjasa Dicabut
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.