BANDA NEIRA, KOMPAS.com - Pagi itu, lukisan Gunung Api Banda yang tercetak di selembar uang Rp 1.000 sungguh-sungguh terhampar di depan mata kami.
Selat yang memisahkan pulau ini dengan si gunung api api, anehnya, begitu tenang pada musim ombak seperti sekarang.
Saya dan Ganjar Pranowo berdiri mematung untuk beberapa detik di menara Benteng Belgica, benteng Portugis di Banda Neira, Maluku.
Sepasang sikunya ia topangkan di dinding yang sudah 5 abad tuanya ini. Beberapa staf kepercayaannya mendampinginya di balik punggung kami.
Tak ada langit biru pagi itu. Angkasa bertudung mendung dan mengirim semilir angin yang melipatgandakan keteduhan pagi ini.
Keteduhan yang sama mampir ke hati kami walau cuma tiga jam berkeliling pulau yang dulu pernah menerima Sjahrir dan Hatta.
"Saya menyesal tidak menginap di sini," kata Ganjar sambil menatap kejauhan dalam momen yang sangat singkat itu.
Seragam kampanye kebanggaannya--kemeja putih bertulis "Sat Set" lepek dimakan keringat.
Keteduhan yang sama pula, barangkali, yang berhasil mencuri hati seorang Mohammad Hatta.
Dalam pengasingannya selama 6 tahun, Hatta bahkan mendedikasikan umurnya untuk mendidik warga pribumi lewat sekolah petang yang ia bangun.
Begitu jatuh cintanya Hatta hingga ia sengaja pulang ke tanah buangannya jelang peringatan Kemerdekaan beberapa tahun setelah Proklamasi. Selembar potret momen itu masih terabadikan di rumah pengasingannya.
Sutan Sjahrir, yang bersama Hatta diasingkan pemerintah Hindia Belanda pada 1936-1942 di Banda Neira, kini sudah tiada. Namun, Sjahrir terus menggema.
Bukan hanya pikirannya yang lugas menerobos waktu, satu ucapan Sjahrir juga dengan dahsyat melintasi zaman dan telah menjelma adagium yang terpatri di kepala setiap petualang.
"Jangan mati sebelum ke Banda Neira," ucap eks Perdana Menteri Indonesia itu.
Ganjar mengakui, di dadanya, menyala asa yang sama untuk sekali saja singgah ke Banda Neira. Ia berujar, itu salah satu impiannya sejak belia.
Yang jelas, kepulauan ini memang istimewa. Rempah-rempah Banda Neira, khususnya pala, ialah sebab utama Belanda berlayar jauh mengarungi samudera dari Eropa.
Pala dari bumi Banda bahkan sanggup mendongkrak derajat sosial seseorang di Eropa kala itu.
Semua memori istimewa soal Banda Neira itu masih lestari di pulau yang kental nuansa sahaja itu.
Rumah pengasingan Hatta, juga Sjahrir, berikut koleksi paling subtil sekalipun seperti foto-foto, kursi santai, hingga meja kerjanya, terawat sama awetnya dengan memori bangsa ini terhadap kedua tokoh tersebut.
Pelbagai benteng bekas bangunan Belanda masih berdiri tegap, menantang setiap derap perubahan zaman yang lama-lama mengubah Banda Neira.
Selebihnya, yang tersisa adalah keagungan alam Maluku. Nyiur melambai memagari hutan rimba yang menyelimuti bukit-bukit hingga puncaknya.
Lautnya membentang luas, dengan keindahan bawah air yang telah melegenda di kalangan turis mancanegara.
Baca juga: Jangan Mati Sebelum Ke Banda Neira, Ungkapan Terkenal Sutan Syahrir