KURANG dari sebulan, Indonesia segera melangsungkan Pemilihan Presiden 2024. Salah satu perhatian tertuju pada kembalinya politisi senior ke gelanggan kampanye seperti Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri, Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan mantan wakil presiden Jusuf Kalla (JK).
Ketiganya tidak hanya mendukung kandidat tertentu, tetapi juga membawa pengaruh sejarah mereka ke dalam persaingan politik saat ini, mencerminkan gabungan antara masa lalu dan masa depan dalam demokrasi Indonesia.
Tokoh-tokoh ini memiliki peran penting dalam sejarah politik Indonesia. Megawati, Ketua Umum PDI-P, mendukung Ganjar Pranowo-Mahfud MD; SBY, dari Partai Demokrat, mendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka; dan JK, tokoh senior Partai Golongan Karya (Golkar) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), mendukung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
Keterlibatan politisi senior seperti Megawati, SBY, dan JK dalam pemilu 2024 menimbulkan pertanyaan penting tentang kondisi demokrasi di Indonesia.
Apakah ini menandakan demokrasi yang sudah matang dengan kekuasaan yang dinamis dan dipimpin oleh kehendak rakyat? Atau, apakah ini menunjukkan Indonesia masih membutuhkan pengaruh tokoh lama untuk keberhasilan politik?
Teori politik Samuel P. Huntington mengatakan, politik seringkali berkembang melalui gabungan unsur lama dan baru, dengan perubahan yang berlangsung secara bertahap. Kehadiran tokoh-tokoh senior ini dalam pemilu bisa jadi cerminan dari teori tersebut.
SBY, dengan dukungannya untuk Prabowo-Gibran, juga berperan penting, terutama di kalangan pemilih tua yang menghargai pendekatannya yang moderat. Ini adalah strategi untuk menggabungkan kepemimpinan kuat dengan ide-ide baru.
Dukungan JK untuk Anies-Muhaimin juga menarik. Sebagai mantan wakil presiden yang dihormati, dukungannya menunjukkan kepercayaan pada kepemimpinan Anies Baswedan dan berpotensi memengaruhi pemilih yang belum yakin.
Kebangkitan tokoh senior ini mencerminkan keseimbangan antara tradisi dan inovasi dalam politik Indonesia.
Ini adalah hal yang umum di negara-negara dengan demokrasi yang sedang berkembang, di mana konsolidasi demokrasi seringkali memerlukan gabungan antara unsur lama dan baru.
Di Indonesia, peran aktif tokoh lama bisa menstabilkan, namun juga menjadi penghalang untuk demokrasi yang lebih maju dan inklusif.
Dukungannya kepada Prabowo, seorang mantan rival, dan putranya, Gibran, mencerminkan gabungan antara pragmatisme politik dan kesetiaan keluarga, menimbulkan pertanyaan tentang peran dinasti politik di Indonesia.