Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ulwan Fakhri
Peneliti

Peneliti humor di Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3)

Membongkar "Clownmanship" di Pilpres 2024

Kompas.com - 23/01/2024, 12:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

GIBRAN Rakabuming Raka disorot setelah merespons Mahfud MD di debat cawapres, Minggu (21/1/24), dengan gestur celingukan.

Ia melakukannya sebagai dalih bahwa jawaban Mahfud tentang greenflation – lagi-lagi Gibran tidak menjelaskan secara komprehensif istilah spesifik dalam pertanyaannya, meski Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah membarui aturannya soal ini – tidak relevan.

“Saya lagi nyari jawabannya Prof Mahfud. Saya nyari-nyari di mana ini jawabannya kok enggak ketemu jawabannya,” begitu ujaran Gibran yang membarengi gestur celingukannya.

Gestur Gibran itu pasti familiar di kalangan pelaku maupun penikmat stand-up comedy di Indonesia.

Biasanya, hal itu dilakukan oleh seorang komika untuk menyinggung penampil sebelumnya yang gagal mendapatkan tawa dari penonton (disebut juga bombing atau “anyep”).

“Saya sedang nyari-nyari komika tadi lucunya di mana.” Lebih kurang, begitulah ilustrasi dalam konteks yang penulis sebut di atas.

Berdasarkan pernyataan resmi dari Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (22/1/24), gerakan tersebut memang upaya putra Presiden Joko Widodo yang didesain untuk membuat panggung politik nasional menjadi lebih santai.

Di ajang Pilpres 2024, Prabowo-Gibran memang pasangan yang terdepan dalam memfamiliarkan masyarakat Indonesia dengan gestur, pernyataan, hingga gimmick menghibur: dari berjoget, mencitrakan diri dengan tokoh-tokoh anime tertentu, sampai menggunakan alat peraga kampanye berbasis artificial intelligence sehingga pasangan tersebut lebih tampak seperti tokoh film animasi daripada politikus.

Pastinya, Prabowo-Gibran bukan kontestan pertama yang memakai gimmick menghibur dalam kontestasi Pilpres.

Namun jika menganggap mereka politikus yang tulus menghibur lewat gimmick-gimmick politiknya, jelas keliru. Prabowo-Gibran sedang tunjukkan sebenarnya adalah clownmanship, yaitu penggunaan strategi menghibur untuk menghindari atau menutupi sesuatu.

"Clownmanship"

Nick Butler, associate professor Stockholm University, dalam The Trouble with Jokes (2023), mendefinisikan secara harfiah bahwa clownmanship adalah perpaduan cacat antara “badut” (clown) dan negarawan (statemanship).

Sebenarnya, penulis belum sepenuhnya cocok dengan terminologi ini karena cakupannya masih terlalu sempit.

Pertama, pelabelan “clown” atau “badut” bagi para politikus inkompeten bakal makin mendegradasi badut sebagai profesi dan pelaku budaya yang perannya bagi peradaban sudah menjejak sedari tahun 2400 SM.

Rasanya tidak adil saja jika politikus inkompeten disamakan dengan court jester atau badut istana macam Abu Nawas, Nasruddin Hoja, atau Will Sommers, yang punya keahlian untuk menyambungkan aspirasi rakyat ke kerajaan dan menyadarkan raja atau ratu yang zalim lewat komunikasi humoristis.

Di era modern kini pun, badut sebenarnya sedang direstorasi marwahnya. Di bidang kesehatan, kehadiran clown doctor yang dipioniri dr. Patch Adams telah diakui sebagai intervensi yang positif untuk mendongkrak mood pasien dalam proses pemulihan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com