AROGANSI jalanan (road range) kembali menjadi sorotan publik setelah beredarnya video seorang ajudan Bupati Kutai Barat (Kubar) berstatus tentara yang memukuli sopir truk sawit di Jembatan Kinong (Jengan Danum), Kubar, Kalimantan Timur, pada Rabu (20/12/2023).
Sebelumnya, jagat sosial media juga dihebohkan video aksi arogan seorang oknum polisi yang mengancam dengan menggunakan senjata tajam terhadap pengendara mobil di Kota Palembang.
Arogansi jalanan yang seharusnya ditindak tegas oleh aparat penegak hukum, justru sering dilakukan oleh oknum aparat. Hal ini tentu sangat merusak citra dan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.
Budaya militer atau prajurit yang tegas serta tegak lurus memang diperlukan untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat.
Namun, budaya tersebut harus diimbangi pemahaman yang baik tentang supremasi hukum dan nilai-nilai demokrasi. Aparat penegak hukum harus menyadari mereka juga merupakan bagian dari masyarakat.
Kejadian seperti ini seakan tidak pernah usai. Entah sudah berapa banyak keluhan publik terkait arogansi jalanan sebagian pihak yang menyalahgunakan otoritas dan wewenang.
Aksi di jalanan dilakukan berbekal plat nomer khusus, sirine, dan strobo. Seakan menjadi penanda dan pembeda pelaku dengan masyarakat umum.
Arogansi jalanan dapat diartikan sebagai sikap angkuh, sombong, dan tidak menghormati orang lain di jalan raya.
Perilaku ini dapat berupa tindakan verbal, non-verbal, atau bahkan kekerasan fisik. Sikap ini dapat muncul karena berbagai faktor, seperti rasa memiliki kekuasaan, merasa lebih tinggi dari orang lain, atau merasa tidak akan tersentuh hukum.
Fenomena arogansi jalanan bukanlah hal baru di Indonesia. Budaya ini tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Merasa punya ‘Beking’ menjadi kata pamungkas untuk pelanggaran yang dilakukan di jalanan. Menahun dan menjalar dalam seluruh sendi-sendi masyarakat. Buktinya dalam banyak kesempatan road range dilakukan juga oleh pelaku nonaparat dan nonpejabat.
Arogansi jalanan secara faktual telah terbukti menimbulkan berbagai dampak negatif, baik bagi diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan.
Bagi diri sendiri, arogansi jalanan menimbulkan rasa tidak nyaman, cemas, bahkan ketakutan. Bagi orang lain, arogansi jalanan dapat menimbulkan rasa terintimidasi, terhina, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa.
Bagi lingkungan, arogansi jalanan dapat menimbulkan kemacetan, kecelakaan, mengganggu ketertiban umum bahkan kerusakan fasilitas umum.
Salah satu yang dapat menyebabkan arogansi jalanan adalah buruknya komunikasi antara pengemudi kendaraan bermotor.