JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Pejabat (Pj) Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Lalu Gita Ariandi terkait penerbitan izin salah satu perusahaan.
Juru Bicara Penindakan dan Kelembagaan KPK Ali Fikri mengatakan, perusahaan tersebut terlibat dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Bima.
Adapun Gita diperiksa sebagai saksi dugaan korupsi Wali Kota Bima Muhammad Lutfi yang terjerat kasus gratifikasi dan pemborongan proyek di lingkungan Pemkot Bima.
"Didalami pengetahuannya antara lain terkait penerbitan izin dari salah satu perusahaan yang mengikuti lelang pengadaan barang dan jasa di Pemkot Bima," kata Ali kepada wartawan, Rabu (22/11/2023).
Menurut Ali, izin perusahaan tersebut diterbitkan oleh Gita ketika ia menjadi Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi NTB.
Baca juga: Pj Gubernur NTB Lalu Gita Ariandi Penuhi Panggilan KPK
Ditemui usai menjalani pemeriksaan, Gita mengaku dicecar penyidik terkait penerbitan izin PT Tukad Mas yang bergerak di pertambangan batu.
Gita mengaku menerbitkan surat izin tersebut ketika masih menjabat kepala dinas. Sebulan setelah menerbitkan surat itu, ia diangkat menjadi Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi NTB.
Ia juga mengeklaim penerbitan surat tersebut sudah sesuai dengan standard operating procedure (SOP).
"Aman, sesuai dengan SOP. Ada pertimbangan teknis dari dinas teknis yaitu dinas ESDM,” kata Gita.
Baca juga: KPK Tahan Wali Kota Bima, Diduga Kondisikan Proyek Bersama Keluarga
Wali Kota Bima Muhammad Lutfi ditahan KPK pada Kamis (5/10/2023) karena diduga menerima gratifikasi dan mengondisikan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kota Bima bersama keluarga intinya.
Lutfi memulai dengan meminta dokumen sejumlah proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pemkot Bima.
Selanjutnya, Lutfi memerintahkan sejumlah pejabat di Dinas PUPR dan BPBD menyusun berbagai proyek dengan nilai anggaran besar.
Lelang kemudian dijalankan hanya sebagai formalitas karena Lutfi menunjuk sendiri kontraktor yang menjadi pelaksana proyek. Padahal, perusahaan tersebut tidak memenuhi syarat.
Dengan mengondisikan proyek itu, Lutfi diduga menerima setoran dari para kontraktor dengan jumlah hingga Rp 8,6 miliar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.