DALAM proses demokrasi kita sikap pragmatik mewarnai, yaitu pilihan yang membawa guna dan manfaat terutama untuk menopang hasil dan dampak yang diinginkan.
Berguna dan bermanfaat biasa disebut pragmatik, mungkin malah mampu mendewasakan sikap pemimpin dan warga kita.
Kita semua bertambah rasional dan mungkin damai ketika kita bertambah pragmatis. Sikap pragmatisme ini tampaknya bisa mendewasakan dan mengurangi ideologi, fanatisme, dan idealisme.
Untuk menjadi rasional, baik warga dan pemimpin, ternyata tidak harus melalui pendidikan panjang yang sifatnya idealis secara formal dan melelahkan atau pendidikan tentang pengalaman empiris lewat prosedur ilmiah.
Mana yang berguna dan bermanfaat dalam langkah-langkah sosial dan politik cukup menyadarkan rasionalistas kita, mengurangi emosi dan menggerus ideologi dan fanatisme.
Idealisme, yaitu taat pada nilai-nilai yang dipegang berdasarkan petunjuk baku dari pendidikan formal dan tradisi, ternyata kurang tepat saat ini.
Pragmatisme, mungkin siapa tahu, bisa mendidik manusia Indonesia untuk lebih rasional dalam bersikap dan memilih.
Jadi, dalam banyak perilaku politis pemimpin dan warga, ternyata pertimbangan-pertimbangan pragmatik, yaitu nilai guna, manfaat, dan imbasnya dalam langkah dan pilihan perlu dilihat sebagai alat untuk mendewasakan.
Ketika memutuskan dalam melangkah dan memilih, tidak harus berdasarkan mana yang idealis dan mana yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan tradisi. Namun, mana yang bermanfaat yang jelas dan membawa dampak ekonomi dan politik saat itu.
Itulah kecenderungan yang sedang terjadi saat ini. Kita lebih pragmatis, makanya kita lebih rasional. Nilai-nilai manfaat dan guna membawa kita lebih netral dan dingin dalam bersikap dan bertindak.
Demokrasi kita tidak lepas dari sejarah para pemimpin kita memulai membangun negara dan bagaimana pemimpin selanjutnya berubah.
Di awal-awal kemerdekaan para pendiri bangsa sangat familiar dengan filsafat idealisme Eropa, sepeti Georg Wilhem F Hegel (m. 1831).
Menurut filsafat idealisme, benturan-benturan yang berlawanan melahirkan proses jalannya sejarah manusia. Dan benturan terakhir adalah kompromi dari tesa (kenyataan) berbeda yang menghasilkan sintesa.
Kita baca tulisan-tulisan Sukarno, Hatta, Syahrir, dan juga Yamin, filsafat idealisme menonjol di sana.
Di sisi lain kritik terhadap idealisme juga melahirkan Marxisme yang mengedepankan empirisme dalam sejarah.