JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie menyebut, hakim konstitusi Saldi Isra dan Arief Hidayat tak tahan dengan permasalahan yang ada di internal MK.
Itu sebabnya, keduanya menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion) yang di dalamnya terasa emosional dan tak seluruhnya bicara soal substansi perkara pada Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat usia capres-cawapres.
"Baik Prof Arief maupun Prof Saldi kayaknya enggak kuat hadapi problem internal. Itu terekspresikan dalam pendapat hukumnya," kata Jimly setelah memeriksa semua hakim konstitusi, Kamis (2/11/2023).
Baca juga: Jimly Cemas 3 Paslon Capres Akan Ribut Saat Sengketa jika Masalah MK Tak Dibereskan
Oleh karena itu, Jimly mengaku bisa memahami latar belakang sejumlah pelapor mengadukan Saldi dan Arief melanggar etik.
Ia sendiri beranggapan bahwa para hakim seyogianya tidak menyampaikan dinamika internal MK ke publik.
Jimly berujar, 9 hakim konstitusi memang sudah sewajarnya berdebat sengit, tetapi perdebatan itu harus sudah usai ketika putusan diketok palu.
"Yang dipersoalkan adalah dissenting opinion kok isinya bukan dissenting? Isinya curhat. Nah ini kan sesuatu yang baru, tentang bagaimana sebaiknya kita membangun tradisi dissenting opinion," ucap mantan Ketua MK itu.
Sebagai informasi, dugaan pelanggaran kode etik ini mengemuka setelah MK yang diketuai ipar Presiden Joko Widodo, Anwar Usman, mengabulkan gugatan terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) pada Senin (16/10/2023) lewat putusan yang kontroversial.
Dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, MK merumuskan sendiri norma bahwa seorang pejabat yang terpilih melalui pemilu dapat mendaftarkan diri sebagai capres-cawapres walaupun tak memenuhi kriteria usia minimum 40 tahun.
Hakim yang setuju putusan itu hanya Anwar Usman, Guntur Hamzah, dan Manahan Sitompul.
Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic menyampaikan alasan berbeda (concurring opinion), bahwa hanya gubernur yang berhak untuk itu.
Sementara itu, hakim konstitusi Arief Hidayat, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, dan Suhartoyo menolak dan menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion).
Baca juga: Amien Rais: Politik Dinasti Keluarga Jokowi Puncak Pengkhianatan Reformasi
Dalam dissenting opinion-nya, Saldi dan Arief menyinggung beberapa kejanggalan serta kronologi keterlibatan Ketua MK Anwar Usman dalam memutus perkara dan mengubah pendirian MK dalam waktu singkat.
Saldi mengaku bingung dengan tindakan MK lewat putusan itu, sedangkan Arief menganggap ada "kosmologi jahat" di balik perkara itu.
Putusan ini pada akhirnya memberi tiket untuk putra sulung Jokowi yang juga keponakan Anwar, Gibran Rakabuming Raka, untuk melaju pada Pilpres 2024 dalam usia 36 tahun, berbekal status Wali Kota Solo yang baru disandangnya 3 tahun.