JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan bahwa sistem penegakan hukum masih semrawut di Indonesia.
Ia lantas bercerita mengenai pertemuannya dengan beberapa investor yang hendak menanamkan modal di dalam negeri. Para investor menyinggung soal bobroknya penegakan hukum dan birokrasi di dalam pemerintahan.
"Soal penegakan hukum, oke, lah, kalau penegakan hukum itu kadang kala masalahnya adalah terjadi selintutan (bermain). Korupsi, sehingga ada investor bilang kepada saya, 'Pak, katanya di Indonesia ini yang rusak itu penegakan hukum dan birokrasinya'," kata Mahfud dalam acara Konferensi Hukum Nasional di Jakarta Pusat, Rabu (25/10/2023).
Mahfud mengatakan, investor itu mengungkapkan sulitnya membangun proyek jika tidak melakukan praktik suap agar jalan yang ditempuh lebih mulus.
Baca juga: Prabowo-Gibran Daftar ke KPU, Mahfud: Biasa Saja, Bagus
Namun, jika upaya suap tercium, para pengusaha yang disalahkan dan berpotensi mendekam di jeruji besi.
Adapun penyuapan itu biasanya dilakukan ketika izin usaha belum kunjung keluar.
"Banyak sekali (penyuapan), misalnya ada seseorang mau membangun pabrik baterai di Padang sampai dua tahun izinnya enggak keluar. Sementara yang baru-baru keluar kalau sudah bicara lewat di balik pintu. Saya kira itu yang harus kita bicarakan," ujar Mahfud.
"Jadi, kalau orang ndak nyuap, ndak jalan. Kalau nyuap, kalau ketahuan, dipenjarakan. Dibilang dia nyuap, padahal dia sebenarnya diperas," katanya lagi.
Selain praktik penyuapan, Mahfud mengungkapkan, bobroknya penegakan hukum di Indonesia terlihat ketika aparat penegak hukum justru meloloskan pihak-pihak yang bersalah.
Ia memberi contoh, dalam kasus PT Duta Palma, Mahkamah Agung (MA) justru memangkas hukuman uang pengganti bos PT Darmex Group dan PT Duta Palma, Surya Darmadi menjadi hanya Rp 2 triliun.
Padahal, dalam putusan tingkat pertama dan banding, Surya Darmadi harus membayar uang pengganti sebesar Rp 42 triliun atas penyerobotan tanah milik negara berupa lahan kelapa sawit seluas 37.095 hektar di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, selama 22 tahun.
Baca juga: Mahfud Kini Optimistis dengan MKMK karena Salah Satunya Ada Jimly Asshiddiqie
Mahfud mengungkapkan, uang pengganti senilai Rp 42 triliun itu dihitung oleh pakar dalam konteks kerugian perekonomian negara sesuai Undang-Undang.
"(Uang pengganti senilai Rp 42 triliun) itu dikabulkan oleh pengadilan, betul perhitungannya. Pak Febrie Adriansyah (Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus), betul. Pengadilan mengabulkan, putus. Tapi, di MA dipotong, enggak ada ini kerugian keuangan negara, yang benar hanya Rp 2 triliun, turun lagi," ujar Mahfud.
Begitu pula dalam kasus Indosurya yang membuat bos perusahaan tersebut bebas atas kasus penipuan dan penggelapan dana Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya.
Namun, dalam kasus ini, Mahfud sempat meminta pihak kepolisian untuk mengusutnya kembali.
"Saya bilang bersama Pak Kabareskrim, kejar lagi dari kasus lain, kita sambil kasasi. Diputus 18 tahun (penjara) dan (denda) Rp 12 triliun, semula bebas murni di pengadilan. Nah, yang begini-begini kita harus sepemahaman dalam proses hukum kalau ingin menyelamatkan negara ini," kata Mahfud MD.
Baca juga: KPU: Gibran Jadi Cawapres Prabowo walau PDI-P Usung Ganjar-Mahfud, Tak Masalah
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.