SETAHUN lalu, saya bertemu dengan Menko Polhukam Mahfud MD. Selaku Ketua Senat Universitas Jember bersama rektor, saya menemani Pak Menteri makan siang. Sesaat setelah Mahfud MD memberi kuliah umum di Universitas Jember.
Menteri yang selalu tampil bersahaja itu bercerita tentang “menit-menit terakhir” (last minute) menjelang pengumuman calon wakil presiden (cawapres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Saat itu namanya santer disebut-sebut sebagai cawapres Joko Widodo (Jokowi) yang hendak maju lagi pada Pilpres 2019.
Namun, takdirnya belum datang. Pendamping Jokowi ternyata bukan Mahfud, melainkan KH. Ma’ruf Amin. Secara berseloroh saya bilang, “Boleh jadi takdir yang tertunda, Prof.” Ahli hukum tata negara yang putra Madura itu hanya tersenyum tipis.
Dan, ternyata benar, takdir yang tertunda. Lima tahun kemudian takdir Mahfud MD tiba. Ia telah dipilih dan dideklarasikan oleh Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Megawati Soekarnoputri, sebagai cawapres mendampingi Ganjar Pranowo.
"Hari ini hari Rabu tanggal 18 Oktober 2023, saya dengan mantap, ini saya telah mengambil keputusan semuanya. Saya tunjukkan sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat bangsa dan negara. Karena itulah dengan mengucapkan bismillah hirohmanirrohim, maka calon wakil presiden yang dipilih oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang akan mendampingi Bapak Ganjar Pranowo adalah Bapak Profesor Doktor Mahfud MD," ucap Megawati (Kompas.com, 18/10/2023).
Tentu saja Megawati telah menelisik Mahfud MD dari berbagai sisi. Bukan sekadar dari sudut popularitasnya, melainkan juga kecocokan yang lain. Megawati biasa detail, istilah Jawa “njlimet”. Tak mau “grusa-grusu”.
Megawati tak mau melihat dari sudut popularitas seseorang saja. Politik bukan urusan popularitas. Politik berurusan dengan tanggung jawab publik.
Popularitas penting, tapi yang pertama dan utama adalah integritas. Apalagi berada pada situasi zaman yang sedang tidak baik-baik saja, zaman edan dalam perspektif Serat Kalatidha karya Ranggawarsita.
Mahfud MD bukan nama kaleng-kaleng. Kapabilitasnya sangat cocok sebagai cawapres, bahkan capres sekalipun. Megawati menyebutnya seorang intelektual yang mumpuni.
Dipasangkan dengan Ganjar Pranowo, mengingatkan kita pada dwitunggal Soekarno-Hatta. Bukan hanya tampilan luarnya, tapi juga tampilan dalamnya.
Bayangkan bila keduanya dipotret. Ganjar bersongkok tak berkacamata. Mahfud bersongkok selalu berkacamata.
Tentu saja tak sama dengan pasangan Soekarno-Hatta, tapi setipe. Tampilan luar ini, saya kira, juga merefleksikan tampilan dalamnya.
Herbert Feith, Indonesianis asal Australia, pernah melukiskan Bung Karno bertipe “solidarity maker”.
Bung Karno mempunyai sikap, pembawaan, dan kemampuan menggalang solidaritas orang-orang dari berbagai macam latar belakang untuk mencapai satu tujuan.
Model kepemimpinan dan komunikasinya spontanitas dan autentik. Suka berbicara ide-ide besar yang visioner. Cakap menggelorakan semangat.
Ganjar merepresentasikan tipe “solidarity maker”, setipe dengan Bung Karno. Spontanitasnya tinggi, autentik pula. Komunikasinya pun mengalir tanpa sekat, “gayeng”.
Ganjar tak kesulitan berkomunikasi dengan berbagai kalangan masyarakat. Ia juga bisa dibilang orator. Cara berbicaranya di depan umum menarik, meyakinkan, dan penuh optimisme. Semua itu menjadi modal kuat bagi Ganjar untuk menjadi “solidarity maker”.