JAKARTA, KOMPAS.com - SETARA Institute menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) harus tahan ujian di tahun politik, terkhusus soal gugatan syarat usia minimum capres-cawapres yang kini menanti diputus.
"Meskipun sebagian orang telah meragukannya, MK adalah satu-satunya harapan penjaga kualitas demokrasi dalam pemilu, saat para penyelenggaran Pemilu dan pemerintah menunjukkan gejala tidak netral dalam kontestasi," kata Ketua Dewan Nasional SETARA Institute Hendardi, ketika dikonfirmasi pada Selasa (10/10/2023).
"MK juga yang bisa menghentikan konsolidasi politik dinasti yang dikendalikan oligarki, yang terlanjur memerankan sebagai pengendali republik melalui praktik vetocracy di hampir semua kebijakan negara," lanjutnya.
Baca juga: Gugatan Batas Usia Capres-Cawapres Tak Kunjung Diputuskan, Berapa Lama Proses Uji Materi di MK?
Secara khusus, Hendardi menyoroti, bahwa seseorang tak bisa menduduki jabatan publik tertentu karena faktor usia bukanlah diskriminasi sebagaimana didalilkan para penggugat.
Hendardi menegaskan, MK telah berulang kali mempertegas batasan tafsir diskriminasi, yang seringkali dijadikan argumen dan dalil pengujian konstitusionalitas norma.
"Banyak salah kaprah penggunaan dalil diskriminasi yang sebenarnya adalah bentuk perlakuan berbeda dalam kondisi yang berbeda," ujar dia.
Dalam riset 10 Tahun Kinerja Mahkamah Konstitusi, SETARA Institute (2013) mencatat bahwa MK telah menegaskan bahwa "perlakuan berbeda" berlainan makna dengan "diskriminasi".
"Perlakuan berbeda dalam mengisi posisi jabatan-jabatan tertentu misalnya, dapat dibenarkan dengan menakar relevansi fungsi kelembagaan tersebut," ucapnya.
"Perlakuan berbeda atau pembedaan dapat dibenarkan sepanjang tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan politik serta tidak dilakukan secara sewenang-wenang dan melampaui kewenangan pembentuk undang-undang," jelas Hendardi.
Baca juga: MK Putuskan Usia Capres-cawapres 16 Oktober
Di sisi lain, SETARA Institute menegaskan bahwa Mahkamah bukan keranjang sampah yang bisa memeriksa semua perkara atau tempat semua curahan warga mencari keadilan.
"Bukan pula tempat para elite, dengan mengorkestrasi warga, untuk menggunakan instrumen keadilan ini mencari kuasa," ungkap Hendardi.
Apalagi, Mahkamah dalam putusan-putusan terdahulu soal perkara sejenis, telah menegaskan sikapnya bahwa gugatan terkait usia menduduki jabatan publik tertentu tak mengandung isu konstitusionalitas, melainkan wilayah kebijakan hukum terbuka (open legal policy), sehingga bukan ranah MK untuk memutus.
Baca juga: MK Dinilai Tunggu Momen Tepat Putuskan Gugatan Batas Usia Capres, Mepet Pendaftaran Pilpres
"(Pertimbangan itu terdapat pada) putusan 37/PUU-VIII/2010 terkait usia pimpinan KPK, putusan 49/PUU-IX/2011 terkait syarat usia calon hakim konstitusi, 15/PUU-XV/2017 terkait usia calon kepala daerah, dan putusan 58/PUU-XVII/2019 dan putusan 112/PUU-XX/2022 terkait syarat usia pimpinan KPK yang tetap dinyatakan sebagai bukan isu konstitusional," jelas Hendardi.
Menurutnya, jika MK memutus sebaliknya, maka akan sangat kentara sekali bahwa Mahkamah telah menjadi penopang politik dinasti untuk menggelar karpet merah bagi Wali Kota Solo sekaligus putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto.
Sebagai informasi, terkait gugatan ini, setidaknya ada 3 perkara yang progresnya paling maju dan tinggal menunggu diputus Mahkamah lantaran sidang pemeriksaannya sudah beres pada 29 Agustus 2023.