PADA perhelatan Pilkada DKI 2017 lalu, sedari awal, menurut asumsi saya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) nampaknya memang tidak meniatkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk menang.
Karena bagaimanapun, latar belakang AHY yang bukan politisi dan rentang waktu yang sangat pendek kala itu, jelas merupakan perpaduan ketidakmungkinan yang masuk akal untuk dijadikan alasan.
Sebagaimana watak dan ciri khas politik SBY, langkah yang tepat dan terukur mutlak dilakukan sebelum mengambil keputusan.
Oleh karena itu, menang di DKI Jakarta tempo hari bukanlah sesuatu yang terukur dan masuk akal bagi seorang SBY saat meminta anaknya mundur dari TNI untuk ikut berlaga melawan calon gubernur, masing-masing Basuki Tjahaja Purnama dan Anies Baswedan.
Terbukti, beberapa waktu pasca-Pilkada DKI, pelan-pelan target yang dituju tersebut mulai terlihat jelas. Dibanding panglima berbintang lima sekalipun, AHY nampaknya jauh lebih tenar kala itu. Dan itulah target pertamanya.
Karena dilihat dari peta politik yang ada, jika AHY tetap dibiarkan berkiprah di dalam dunia militer, maka kariernya berkemungkinan besar tidak akan terlalu mentereng lantaran peta kekuasaan yang sedang membentang tentu tidak akan membiarkan itu terjadi.
Sehingga untuk tetap bersinar terang, dibutuhkan sebuah terobosan yang disruptif. Opsi yang dipilih ternyata mundur dari dunia militer dan masuk ke dunia politik dengan lompatan yang cepat melejit. Mengapa cepat, karena ada "timing" yang pas, yakni Pilkada DKI Jakarta.
Karena kala itu memang tidak ditargetkan untuk menang, maka angka elektabilitas yang tercatat sekira 20 persen kurang sedikit akhirnya dianggap wajar saja. Cikeas tak meradang, tak banyak cerita, dan tak banyak membela diri, terutama di twitter SBY ketika itu, misalnya.
Tapi tak bisa dipungkiri, nama AHY berkibar jauh lebih luas daripada sekedar hamparan Lapangan Monas.
Karena Pilkada yang diikuti adalah Pilkada Ibu Kota negara Republik Indonesia, lalu berpadu dengan narasi anak seorang mantan presiden yang belum lama pulang kandang, AHY tak pelak mendapat sorotan publik nasional layaknya calon lain yang memang sudah menasional, seperti Ahok dan Anies.
Sempat banyak yang memberikan penilaian, SBY mampu menciptakan exit strategy yang cantik untuk AHY setelah hingar bingar Pilkada Jakarta tahun 2017 lalu usai.
Exit gate itu bernama The Yudhoyono Institute. AHY didapuk sebagai ‘kepala suku’ di sana. Gembar-gembor peluncurannya hampir menyerupai Pilkada DKI. Jokowi didatangi oleh AHY, padahal sekadar mengantarkan undangan peluncuran The Yudhoyono Institute.
Namun AHY dapat panggung dari narasi lain, yakni narasi perdamaian SBY dengan punggawa Istana yang baru.
Pasalnya, SBY sempat digadang-gadang ada di balik panasnya medan pertempuran Pilkada DKI yang terbakar oleh gerakan 212 dan berbagai turunannya, di mana Ahok akhirnya dibuat meringkuk di penjara dan menunduk kalah.
Sementara di sisi lain, Ahok dipersepsikan sebagai perpanjangan tangan Jokowi di DKI Jakarta. Oleh karena itulah, kedatangan AHY untuk mengantarkan undangan peluncuran The Yudhoyono Institute dikait-kaitkan dengan narasi tadi.
Lantas siapa yang dapat panggung? Yang jelas, SBY dan Jokowi sudah tak butuh panggung lagi. SBY sudah pernah ada di sana dan Jokowi sedang memainkan peran di atasnya. Namun tanpa sadar, AHY menyempil ikut berselancar di panggung tersebut.
Dengan kata lain, momen tersebut adalah momen AHY. Beliau yang datang ke Istana, beliau yang akan menghelatkan acara peluncuran, dan beliau pula yang dianggap merekat hubungan yang renggang di antara dua tokoh. Maka tak salah jika dikatakan saat itu sebagai momen AHY.
Target selanjutnya mulai terbaca jelas saat lembaga survei Indobarometer mempublikasi hasil surveinya kala itu.
Rilis hasil survei tak lama berselang setelah beberapa rentetan peristiwa itu datang dari lembaga binaan mantan peneliti LSI dan CSIS, M. Qodari yang menampilkan beberapa hal menarik dalam publikasi survei berjudul ‘Siapa Penantang Potensial Jokowi di 2019’.
Selain terkait nama Anies Baswedan yang muncul sebagai calon wakil presiden (cawapres) untuk Prabowo Subianto, hal lain yang mencuat ke permukaan adalah terkait tingginya elektabilitas AHY jika dipasangkan sebagai cawapres dan Joko Widodo (Jokowi) sebagai capres.
Survei tersebut menunjukkan dengan cukup gamblang, jika Jokowi dipasangkan dengan AHY, elektabilitas keduanya mencapai angka 48,6 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan Jokowi-Gatot Nurmantyo (47,9 persen) atau Jokowi-Sri Mulyani (43,4 persen).
Bahkan, jika dibandingkan dengan Prabowo yang dipasangkan dengan Anies Baswedan sekalipun, persentasi keunggulan Jokowi-AHY hampir mencapai 20 persen, yakni 48,6 persen untuk Jokowi-AHY dan hanya 19,1 persen untuk Prabowo - Anies. Jadi mulai terang sudah peta jalan yang dibuatkan SBY untuk AHY kala itu.
Persoalannya, jika AHY hanya berada di posisi orang nomor dua alias calon wakil presiden, lantas kemanakah AHY akan diwakafkan? Itu pertanyaan yang muncul kala itu. Atau karena masih ada waktu tersisa ketika itu, akankah AHY sanggup berada di posisi orang pertama saat pemilihan presiden 2019?
Jika opsinya adalah wakil presiden, dilihat dari peta politik pasca-SBY pensiun, opsi untuk AHY nampaknya agak gampang-gampang susah. Berpasangan dengan Jokowi tidak sesederhana yang dibayangkan, sekalipun angka elektabilitasnya di survei saat itu sangat menjanjikan.