Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Risiko Jadi AHY: Dijadikan Ban Serep, Terperangkap Janji Palsu, Merasa Paling Tersakiti

Kompas.com - 04/09/2023, 05:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sebagian publik pun mahfum belaka, la wong anak SBY, kalau jadi Ketua Umum DPP Partai Demokrat, ya wajar. Yang tak wajar, kalau AHY menjadi Ketua Umum Partai lain.

Dengan alur yang biasa-biasa saja pascapengumuman Kabinet Jokowi jilid II, AHY hampir saja hilang dari ingatan. Tapi tetiba muncul kembali di awal masa pandemi.

Setelah dua pos menteri ‘disantap’ KPK di awal pandemi karena kasus korupsi, muncul wacana reshuffle kabinet. Nama AHY mengekor di belakang nama Tri Rismamaharini dan Sandiaga Uno, sebagai salah satu tokoh yang digadang-gadang akan ikut berlabuh di Istana.

Namun berdasarkan kalkulasi politik para pengamat kala itu, nampaknya Jokowi tidak terlalu membutuhkan sokongan suara Partai Demokrat lagi. Bumper politik Jokowi sudah sangat kuat di parlemen dan jajaran partai-partai politik yang ada. Utamanya setelah Partai Gerindra akhirnya ikut berlabuh di Istana.

Memang ada perhitungan kecil yang banyak diangkat beberapa pihak bahwa Partai Demokrat selama ini digadang-gadang menjadi salah satu persoalan pelik (selain Jusuf Kalla), yang kerap membuat Istana pusing, semisal dikaitkan dengan Aksi 212.

Dengan membawa AHY ke dalam koalisi, diasumsikan ancaman persoalan tersebut bisa diredam.

Tapi dengan nomor buncit yang dikantongi AHY kala itu, setelah Risma dan Sandi, nasib AHY pun kembali sama dengan yang lalu-lalu. SBY boleh jadi perlu tidur lagi untuk beberapa tahun, sebelum bangun membawa mimpi baru, tentunya di 2024.

Karena dari konstelasi pascapemilihan 2019 yang sudah solid, nama AHY kurang diperlukan oleh Istana. Jadi SBY harus kembali tidur dan menerima kenyataan bahwa AHY baru layak sebagai calon dan bakal calon, mulai dari calon Gubernur DKI, bakal calon menteri di kabinet Jokowi jilid II, dan bakal calon menteri di formasi pasca-reshuffle 2020.

Karena figur SBY yang rasional dan penuh perhitungan, maka tidur sampai 2024 adalah kalkulasi terbaik untuknya saat itu.

Baru saja mulai tidur pascakehilangan kesempatan kesekian kalinya, kepemimpinan AHY di Partai Demokrat digoyang kader lama partai yang ternyata tak terakomodasi oleh kepemimpinan baru AHY.

Mereka tidak sendiri, ada nama Moeldoko yang menjadi patron barunya. Ributnya konon belum juga usai sampai hari ini.

Yang paling mutakhir adalah saat Cak Imin atau Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Kebangsaan Bangsa (PKB), dilamar secara tiba-tiba oleh Surya Paloh, Partai Nasdem, dan Anies Baswedan, untuk dijadikan bakal calon wakil presiden di laga 2024 nanti.

Peristiwa kali ini nampaknya agak menyakitkan, baik untuk Partai Demokrat maupun untuk SBY, apalagi untuk AHY.

Kali ini SBY dan Partai Demokrat secara kasat mata mengeluarkan watak aslinya, yakni baperan. Nampaknya bagi Cikeas, status AHY sudah selevel "pacar" yang belum dilamar oleh Anies. Karena sudah dianggap "pacaran", jika Anies “tidak nikah” dengan AHY, maka akan berarti sebagai sebuah pengkhianatan.

Nahasnya bagi Surya Paloh, Partai Nasdem, dan Anies, jangankan sebagai pacar, AHY hanya dianggap sebagai "gebetan". Jika tak ada situasi yang "darurat, mendesak, terpaksa, mau bagaimana lagi, tak ada lagi pilihan, jalan sudah buntu, dan situasi serupa lainnya", tidak ada keharusan “memacari” lalu “menikahi” AHY.

Tentu saja sakit. Sebagai manusia, siapapun itu, ditinggal bertunangan oleh orang yang selama ini dianggap sebagai pacar, atau setidaknya gebetan, pasti menyakitkan. Manusiawi banget.

Masalahnya, semua itu terjadi di panggung politik, yang justru tidak mengenal kata-kata indah layaknya dalam hubungan percintaan di antara dua insan manusia.

Menjadi agak lucu jika Anies Baswedan, Partai Nasdem, Surya Paloh, bahkan Cak Imin, berpikir dan bertindak sangat rasional, sementara Partai Demokat, SBY, dan AHY justru emosional.

Semestinya, Partai Demokrat sudah berhitung sedari awal mengapa Anies tak juga serius dengan "sang gebetan", mengapa Anies terkesan mengulur-ulur waktu, bahkan lebih tepatnya menghindari, untuk memberikan kepastian kepada AHY dan Partai Demokrat?

Tapi nyatanya yang terjadi, Partai Demokrat dan AHY ketika diperlakukan begitu malah semakin berharap. Walhasil, saat Cak Imin mulai kehabisan kesabaran di kubu sebelah, Anies dan Partai Nasdem masuk, lantas "sekonyong-konyong barang itu pun jadi".

Dan Partai Demokrat tetiba merasa "kesambet petir", maraung-raung kesakitan, menjual narasi pengkhianatan, meski tanpa pernah “dipacari“ secara serius oleh Anies sebelumnya.

Lantas bagaimana menjelaskan hal ini sampai bisa terjadi di arena politik kita? Saya kira, dua kata saja penjelasannya. Pertama ekspektasi tinggi. Kedua "kebaperan" tinggi.

Walhasil, saat orang mendapat jodoh, rasanya seolah kita yang “bercerai”, meski “nikah” saja belum. Begitulah kira-kira.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com