ADIGIUM lama mengatakan, politik adalah the art of possibilities atau seni bermanuver di tengah berbagai kemungkinan.
Landasan teorinya adalah teori permainan (games theory) di mana diasumsikan setiap aktor di dalam arena politik adalah aktor rasional yang memahami situasi di satu sisi dan memahami kepentingannya di sisi lain.
Jadi the art of possibilities di dalam politik boleh dimaknai sebagai kemampuan dalam memosisikan di tempat dan waktu yang paling menguntungkan, baik secara politik maupun secara ekonomi, atau salah satunya.
Dengan kata lain, segala tindakan dan keputusan politik dari aktor politik telah melalui uji kelayakan politik, baik oleh aktor itu sendiri maupun oleh institusi politik yang diwakili oleh aktor politik tersebut.
Adigium ini nampaknya dipahami secara mendalam oleh Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.
Sudah tak diragukan lagi, beliau adalah salah satu politisi "paling lincah" sejagat Indonesia, jika ingin menggunakan terminologi yang agak sopan.
Atau dalam terminologi yang agak tendensius dan negatif, boleh juga dikatakan bahwa beliau adalah salah satu politisi paling "licin" di negeri ini.
Jika belut sering diidentikkan dengan makluk air yang licin, maka secara terminologis, Cak Imin di atas itu "makom politiknya."
Mengapa? Karena selicin-licinnya belut masih bisa ditangkap dengan berbagai cara oleh manusia, mulai dengan pancingan atau dengan jepitan khusus penangkap belut.
Sementara Cak Imin tak mempan dengan pancingan dan tak takluk pada aneka rupa jepitan politik.
Saya masih ingat selepas reformasi, Salim Said, sebelum didaulat menjadi profesor pernah mengatakan bahwa hanya ada dua politisi hebat di Indonesia pada era Orde Baru. Pertama adalah Suharto. Kedua adalah Gus Dur alias Kiai Haji Abdurrahman Wahid.
Namun selepas itu, sampai hari ini tentunya, nampaknya kategori tersebut harus beliau ubah. Boleh jadi Suharto adalah politisi hebat pertama, tapi yang kedua nampaknya bukan Gus Dur lagi, melainkan Cak Imin.
Mengapa? Karena Cak Imin justru mampu menyisihkan Gus Dur dari partai yang dibangunnya sendiri, yakni PKB.
Bagaimana bisa? Karena, sebagaimana asumsi saya di atas, Cak Imin nampaknya memang sangat memahami politik sebagai the art of possibilities.
Ketika Cak Imin mengakuisisi PKB dari Gus Dur dan keluarga, Cak Imin memang terlebih dahulu mengamankan portofolio politiknya di dalam pemerintahan SBY.
Jabatan menteri sedang ada di tangannya kala itu. Bukan tanpa preseden tentunya. Jusuf Kalla atau akrab disapa JK lebih dulu memainkan kartu yang hampir serupa.
Pada 2004, Jusuf Kalla mundur dari konvensi calon presiden Partai Golkar untuk berpasangan dengan SBY di pemilihan presiden langsung pertama Indonesia.
Namun setelah menang dan mengamankan posisinya sebagai wakil presiden, JK kembali ke Golkar dan menguasai jejaring kader partai beringin tersebut untuk kemudian dijadikan infrastruktur politiknya menuju bangku Golkar satu. Dan JK memang mendapatkannya.
Dari aksi JK tersebut, nampaknya Cak Imin memahami betul bahwa memiliki portofolio politik di dalam pemerintahan adalah modal sangat penting saat berhadapan dengan kekuatan besar di dalam internal partai.
Dengan menduduki posisi menteri, sementara Gus Dur hanya mantan presiden yang diturunkan di tengah jalan, maka itulah waktu yang tepat bagi beliau untuk mengambil kemudi PKB. Dan seperti JK, Cak Imin juga berhasil.
Dalam perjalanan setelah itu pun, PKB dan Cak Imin terbukti handal dan lihai dalam bermanuver, baik secara personal maupun secara organisasional.