JAKARTA, KOMPAS.com - Ide mengembalikan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI sebagai lembaga tertinggi negara dinilai tidak mendesak.
Ketimbang mengusulkan perubahan konstitusi untuk mewujudkan gagasan tersebut, MPR yang anggotanya terdiri dari DPR dan DPD diminta fokus pada upaya perbaikan proses pembentukan undang-undang.
“DPR dan DPD untuk fokus dan berkomitmen menyelesaikan perencanaan legislasi pada Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2019-2024,” kata Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Violla Reininda, kepada Kompas.com, Jumat (18/8/2023).
Baca juga: Jika MPR Jadi Lembaga Tertinggi, Surya Paloh: Konsekuensinya Pilpres Tak secara Langsung
Violla mengatakan, masih banyak persoalan dalam proses pembentukan sejumlah undang-undang. Misalnya, terkait pelibatan partisipasi publik, aksesibilitas dan transparansi dokumen, serta akuntabilitas proses pembentukan undang-undang.
Berbagai problem ini tercermin dari proses pembentukan Undang-undang Kesehatan dan pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Cipta Kerja menjadi UU.
Performa pencapaian legislasi di DPR juga masih belum memuaskan. Terhitung sejak 2019 hingga ditutupnya masa sidang ke-5 tahun 2022-2023, DPR bersama pemerintah “hanya” menyelesaikan 64 rancangan undang-undang (RUU) menjadi UU.
Jika dibandingkan dengan jumlah RUU prioritas pada 2019-2024 yaitu sebanyak 259 RUU, capaian tersebut baru mencapai 25 persen. Padahal, masa jabatan legislator hanya tersisa satu tahun.
Baca juga: Kompaknya MPR dan DPD Usulkan MPR Kembali Jadi Lembaga Tertinggi Negara...
Lebih dari itu, jumlah 64 RUU yang disahkan tidak seluruhnya merupakan UU yang diprioritaskan pada Program Legislasi Nasional 2019-2024.
“Meski pembahasan RUU prioritas tahun 2023 belum usai, catatan PSHK menunjukkan besarnya potensi capaian pengesahan RUU tidak mencapai target,” kata Violla.
Menurut PSHK, mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara sudah tidak relevan dengan sistem pemerintahan Indonesia saat ini. Gagasan tersebut bahkan cenderung melemahkan sistem presidensiil yang telah dibangun selama era Reformasi.
Violla mengatakan, ide ini bukan solusi yang tepat untuk mempertahankan keberlanjutan pembangunan dan penyerapan aspirasi publik dalam pembentukan kebijakan.
“Gagasan amendemen UUD 1945 yang diusulkan saat ini tidak mendesak dan justru menunjukkan kemunduran yang kental dengan otoritarianisme,” kata Violla.
“Selain itu, usulan amandemen UUD 1945 juga tidak mengindikasikan upaya penguatan ketatanegaraan, rule of law, dan demokrasi di Indonesia,” tuturnya.
Tanpa adanya komitmen perbaikan dalam proses pembentukan undang-undang, kata Violla, amendemen konstitusi hanya akan menjadi forum konsolidasi elite politik untuk melanggengkan kekuasaan.
Dikhawatirkan, perubahan-perubahan fundamental dalam UUD 1945, seperti mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, bakal mengesampingkan nilai-nilai partisipasi publik dan penguatan ketatanegaraan, sehingga berpotensi menghadirkan amendemen konstitusi yang inkonstitusional.