JAKARTA, KOMPAS.com - Usulan buat mengembalikan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara, melakukan amendemen konstitusi, serta kembali melaksanakan pemilihan presiden tidak langsung dinilai hanya akal-akalan elite politik buat memperpanjang kekuasaan.
"Ini jangan-jangan adalah upaya lanjutan untuk memperpanjang kekuasaan dengan cara-cara yang ilegal, yang tidak benar yang beralasan kepada konsep perubahan konstitusi seolah-olah ini formil dan legal," kata pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari saat dihubungi pada Jumat (18/8/2023).
"Padahal ini adalah taktik politik semata yang berupaya mengelabui masyarakat luas dan lawan-lawan politik yang tidak setuju," lanjut Feri.
Usulan kontroversial itu disampaikan Ketua MPR Bambang Soesatyo dan Ketua DPD La Nyalla Mattalitti pada pidato dalam Sidang Tahunan 2023 di Gedung MPR/DPR, Jakarta, pada Rabu (16/8/2023) lalu.
Baca juga: Wacana MPR Kembali Jadi Lembaga Tertinggi Negara, PKS: Kita Siap, Asal Semua Sepakat
Menurut Feri, usulan yang disampaikan oleh Bamsoet, sapaan Bambang, dan La Nyalla masih satu kesatuan dengan gagasan kontroversial lain seperti perpanjangan masa jabatan presiden dan pemilihan presiden kembali melalui MPR.
"Apa sebabnya proses pemilihan itu menjelang tahun politik 2024? Bukankah isu perpanjangan masa jabatan, pemilihan presiden melalui MPR merupakan isu yang ditolak publik," ucap Feri.
Feri menilai gagasan itu memperlihatkan para elite politik berupaya mencapai tujuannya mengamankan kekuasaan di masa mendatang, dengan berlindung di balik ide amendemen konstitusi serta penataan ulang MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
"Elite politik tidak berani bertatung secara fair dan demokratis karena memang tujuannya berbeda," kata Feri.
Sebelumnya diberitakan, Bambang dalam pidato di Sidang Tahunan mengatakan, pada 14 Februari 2024 mendatang bangsa Indonesia akan menunaikan mandat konstitusi untuk mewujudkan demokrasi melalui pemilihan umum, untuk memilih wakil rakyat di DPR/DPD/DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, sekaligus memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Baca juga: Soal Wacana Amendemen UUD 1945, Mahfud: Boleh Saja jika Situasi Berubah, tapi...
Sedangkan peristiwa Reformasi 1998 telah melahirkan perubahan undang-undang dasar, yang sekian lama dianggap tabu untuk diubah.
Selain itu, kata Bambang, perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah menata ulang kedudukan, fungsi dan wewenang lembaga-lembaga negara yang sudah ada, dan sekaligus menciptakan lembaga-lembaga negara yang baru. Penataan ulang itu juga terjadi kepada MPR.
"Majelis yang semula merupakan lembaga tertinggi negara, berubah kedudukannya menjadi lembaga tinggi negara. Majelis tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945," kata Bambang.
Baca juga: Fahri Hamzah: Wacana Amendemen UUD 1945 Tidak Boleh Mendekati Pemilu
Menurut Bambang, saat ini bangsa Indonesia memutuskan pelaksanaan Pemilu 2024, dan semua pihak telah bekerja keras menyiapkannya agar berjalan secara langsung, umum, bebas, rahasia (Luber) dan jujur serta adil (Jurdil).
Pelaksanaan Pemilu setiap 5 tahun sekali merupakan perintah langsung Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945, yang secara tegas mengatur bahwa pemilihan umum dilaksanakan lima tahun sekali.
Akan tetapi, kata Bambang, sebagaimana diketahui, pemilihan umum terkait dengan masa jabatan anggota-anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden.