HASIL jajak pendapat Litbang Kompas pada 8-11 Agustus, sebagian besar responden (83,9 persen) menyatakan setuju dengan wacana revisi terhadap UU Peradilan Militer (Kompas.15/8/2023).
Angka tersebut menunjukkan cukup besar perhatian dan tuntutan publik. Hal ini adalah modal penting bagi jalan perbaikan UU Peradilan Militer.
Sejak lama, UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, merupakan masalah serius yang menuntut perhatian dari semua pihak. Pemberlakuan UU ini telah menimbulkan dampak cukup luas terhadap penegakan hukum, hubungan antarinstitusi negara, politik, sosial, dan HAM.
Secara substansi, UU Peradilan Militer memiliki pertentangan sangat mendasar dengan norma UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan kata lain, produk hukum ini inkonstitusional.
Produk hukum yang inkonstitusional, maka konsekuensi hukumnya harus segera direvisi atau dicabut.
Perbaikan UU ini memang suatu keharusan. Terlebih lagi, semua peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pembentukan UU Peradilan Militer, telah mengalami perubahan dan beberapa telah dicabut digantikan dengan undang-undang baru.
Seperti UU tentang Mahkamah Agung dan UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara, masing-masing telah mengalami dua kali perubahan.
Sementara undang-undang yang telah dicabut atau dinyatakan tidak berlaku, di antaranya:
Selain aspek dasar hukum di atas, istilah atau nomenklatur masa lalu seperti “prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Panglima ABRI, Menteri Pertahanan Keamanan” cukup banyak ditemukan dalam UU Peradilan Militer.
Padahal, UUD 1945 dan instrumen hukum lainnya telah menentukan istilah TNI dan Polri, serta mengatur peran dan fungsi beserta batasan kewenangan masing-masing lembaga negara sederajat itu.
Begitu pula halnya dengan istilah “Menteri Pertahanan Keamanan” sudah dihapus digantikan dengan nomenklatur “Menteri Pertahanan” sebagaimana diatur di UUD 1945, UU Pertahanan Negara, UU TNI, UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, dan lainnya.
Di samping itu, keberadaan UU Peradilan Militer jika dihubungkan dengan ketentuan terkait asas materi muatan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka makin tegas produk hukum ini tidak mencerminkan asas materi muatan; (1) Asas kemanusiaan, (2) Asas pengayoman, (3) Asas kebangsaan, (4) Asas ketertiban dan kepastian hukum, (5) Asas kesimbangan, keserasian, dan keselarasan, (6) Asas keadilan, dan (7) Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.
UU Peradilan Militer memberikan perlakuan khusus bagi TNI sekaligus “perlindungan hukum.” Perangkat hukum ini membentengi pelaku (prajurit) dari proses peradilan pidana umum.
Apapun tindak pidana umum yang subjeknya (pelaku) dari TNI, maka proses hukumnya harus tunduk pada sistem peradilan militer.
Dengan kata lain, selama ia militer atau dipersamakan yang melakukan tindak pidana umum seperti penyalahgunaan narkoba, pemerkosaan, penyiksaan, pembunuhan, korupsi, pencemaran nama baik, penculikan, penghilangan orang secara paksa dan lain-lain, maka tetap tunduk di bawah lingkungan sistem peradilan militer.
Pada titik ini, ketidakadilan substansial semakin nampak terang. Sistem hukum ini telah menciptakan kasta atau pembedaan dalam penegakan hukum. Hal ini bertentangan dengan asas kesamaan di depan hukum.
Di sisi lain, dengan sistem demikian, maka membuka ruang lebar praktik penyalahgunaan kekuasaan dan praktik impunitas (kekebalan hukum).
Persoalan ini semakin rumit dengan tidak adanya mekanisme kontrol dan koreksi, bahkan tidak dapat disentuh oleh aparat penegak hukum lainnya.
Menariknya lagi dengan instrumen hukum ini, militer bisa menjadi penasihat hukum atau pengacara.
Militer berprofesi sebagai penasihat hukum atau pengacara mungkin hanya ditemukan di Indonesia. Ini bisa menambah daftar keunikan Indonesia di mata dunia.
Militer berfungsi sebagai penasihat hukum berlaku terhadap prajurit militer atau yang dipersamakan maupun keluarganya yang melakukan tindak pidana umum. Kata “keluarga” cakupannya sangat luas.
Militer berprofesi sebagai penasihat hukum tentu saja bertentangan dengan KUHAP dan UU Advokat.
Advokat adalah salah unsur aparat penegak hukum yang menjalankan jasa hukum di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan untuk membela hak tersangka atau terdakwa dan sekaligus untuk menjaga keseimbangan kekuasaan aparat penegak hukum lainnya.
Militer berprofesi sebagai penasihat hukum, jika terus dibiarkan, maka bisa dibayangkan kekacauan sistem penegakan hukum, dan di dalam ruang-ruang pengadilan umum kedepan.
Bisa jadi pula kedepan militer termasuk anggota Organisasi Advokat, atau menjadi asisten advokat, dan mungkin sekalian jadi aktivis HAM.