BAILEY dalam bukunya Heteroglossia (2012), terbitan The Routledge handbook of multilingualism mendefinisikan centripetal force sebagai “the pull toward a centralized standard of language. Centrifugal refers to the push towards local and international languages, considered the non-standard form of language (Bailey, 2012)".
Dengan kata lain, sentripetal force merupakan tarikan menuju standar bahasa yang terpusat. Maksudnya, penggunaan bahasa di ruang publik memiliki dua bentuk, yakni sentripetal dan sentrifugal.
Ringkasnya, sentripetal merupakan wujud penggunaan bahasa yang mengacu kepada bahasa resmi yang digunakan, misalnya di Indonesia, yakni Bahasa Indonesia.
Berfokus kepada sentripetal force, penggunaan bahasa di ruang publik Indonesia, khususnya baliho bakal calon legislatif, seyogianya tetap mengacu kepada bahasa resmi yang dipakai di Indonesia.
Berkaca kepada beberapa baliho, ada yang menggunakan bahasa-bahasa lokal seperti “Mengko penak jamanku, kowe maneh-kowe maneh”. Baliho ini ditujukan untuk bakal caleg DPR RI 2024.
Ada juga “hastag p4ttu7ui, calon Anggota DPRD Kab Soppeng.” Atau “Nggahi rawi pahu, ngaha aina ngoho, maja labo dahu DPR Provinsi NTB.”
Lihat saja baliho yang dikeluarkan Partai NasDem, “dhateng bapak Anies Baswedan lebeting pencalonan Presiden 2024, Kita Nyengkuyung Rekomendasi DPW Partai Nasdem Provinsi DI Yogyakarta."
Ada juga baliho “It’s time restorasi Indonesia bersama Anies Baswedan Calon Presiden dari Partai NasDem”.
Untuk Prabowo, ada baliho di Bogor “Prabowo-Erick Capres-Cawapres 2024, Ayeuna Tos Waktosna.”
Baliho untuk Puan Maharani menggunakan, “2024 Menang Spektakuler Hattrick, Holopis Kuntul Baris, DPD PDI Perjuangan Jawa Tengah."
Berbagai bahasa yang digunakan di dalam baliho tersebut sepertinya tidak memperhatikan kaidah penggunaan bahasa di ruang publik.
Penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik telah diatur dalam Pasal 36, 37, dan 38 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Undang-undang tersebut menyebutkan bahwa penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik harus diutamakan dibandingkan dengan bahasa lainnya.